Senin, 06 Desember 2010

Ilmu-ilmu yang mendasari Ijtihad


Ilmu-ilmu iktisabi atau kasbi (yang diperoleh lewat pencarian) sebagai dasar ijtihad adalah sebagai berikut:
1. Bahasa (gramatika seperti Nahwu dan Sharf) dan sastra Arab (seperti Balaghah yang terdiri dari ilmu Bayan, Ma'ani, Badi').
Ilmu Sharf adalah ilmu tentang perubahan bentuk sesuai dengan waktu; lampau, sedang (berlangsung), perintah, kata kerja, kata pelaku dan sebagainya. Ilmu Nahwu adalah ilmu tentang perubahan akhir huruf setiap kata (dan jumlah kata) seperti mubtada', fa'il, dan sebagainya, serta perbedaan-perbedaan pendapat menyangkut masalah-masalah penting di dalamnya. Ilmu Balaghah adalah ilmu kesusasteraan. Ilmu Bayan adalah ilmu cabang dari ilmu Balaghah yang mempelajari cara berkomunikasi dan tutur kata supaya dipahami dengan sempurna. Ilmu Ma'ani adalah ilmu yang mengajarkan teknik memperindah bahasa dan kata, bersyair, menyusun puisi dan sebagainya.
Ilmu Bahasa dan Satra Arab sangat diperlukan calon mujtahid, mengingat
sebagian besar hukum syari'at hanya dapat ditemukan dan disimpulkan melalui pemahaman dan penguasaan arti yang tersurat (lahiriah) atau yang tersirat (batiniyah) dari ayat-ayat Al Qur'an dan riwayat-riwayat hadits. Bahasa Arab -sebagaimana bahasa-bahasa lain- sebagai media komunikasi populer juga tidak terlepas dari kontaminasi. Dengan demikian ilmu Bahasa dan Satra Arab wajib dipelajari dan dikuasai calon mujtahid, siapa pun dia, bangsa arab atau bukan.
2. Ushulul-Fiqh (ilmu dasar-dasar penyimpulan hukum).
Ilmu dasar-dasar hukum syari'at ini dalam syllogisme demonstrable (al qiyas al burhani) terletak sebagai proposisi mayor (al qadhiyah al kubra), sebagaimana telah dijelaskan dalam ilmu logika (manthiq). Ilmu inilah yang menentukan benar atau tidaknya suatu teks riwayat yang akan digunakan sebagai dasar penyimpulan hukum. Ilmu ini bersifat shopistik dan tidak mengandung arti.
3. Ilmu Dirayah (ilmu tentang riwayat serta kategori-kategorinya) dan ilmu Rijal (ilmu tentang identitas para pembawa riwayat).
Karena sebagian besar riwayat-riwayat yang mengisi khazanah periwayatan umat (Imamiah) termasuk dalam kategori ahad (periwayatan individual) dan bukan kategori mutawatir (periwayatan kolektif) baik dari segi matn (teks) maupun sanad (perawi), maka calon mujtahid harus menguasai ilmu rijal dan ilmu dirayah.
Studi terhadap riwayat dan berbagai macamnya secara mendasar sangat diperlukan karena secara global didapati adanya riwayat yang tidak sahih dalam khazanah hadits umat Islam. Bila seorang mujtahid telah mengetahui secara rinci dan mendapat kemantapan akan keshahihan sebuah (beberapa) riwayat, maka dia bisa menjadikannya sebagai sumber penyimpulan hukum syar'i. setelah memastikannya sebagai ucapan Nabi atau Imam.
4. Ilmu Manthiq (Logik), yaitu ilmu tentang teknik berfikir yang benar.
Seorang faqih sangat perlu mengetahui beberapa pembahasan ilmu ini yang erat kaitannya dengan tujuan penyimpulan, seperti pembahasan-pembahasan mengenai syllogisme demonstrable (al qiyas al burhani), pembahasan tentang pembagian dan sebagainya.
5. Ilmu Matematika.
Ayatollah Muhammad Baqir Shadr mengategorikan sebagai salah satu landasan ijtihad. Dalam bukunya yang berjudul "Al Ushul Al Manthiqiyah Li Al Istiqra" (dasar-dasar rasional induksi) beliau memasukkan hitungan perkiraan-perkiraan matematika rasional dalam pembahasan-pembahasan ushul, seperti pembahasan-pembahasan tentang ijma', syuhrah dan sebagainya. Itulah sebabnya, dimasa mendatang Ilmu Matematika akan menjadi salah satu ilmu yang mendasari ijtihad, insya Allah.
Tindakan Sayyid Muhammad Baqir Shadr ini mirip dengan langkah Al Muhaqqiq Husein Al Khunsari (wafat tahun 1098 H) yang memasukkan pemikiran-pemikiran filosofis Islam ke dalam pembahasan-pembahasan Ushul-Fiqh, dalam bukunya " Al Masyariq Asy-sumus fi Syarhi Ad Durus". Pada awalnya buku itu mendapat kritikan dari para pendukungnya yang kemudian mereka kembangkan hingga menjadi konsensus dan disahkan.
Kelima macam ilmu diatas merupakan unsur-unsur utama ijtihad. Selain itu masih ada beberapa hal yang bermuara kepada ilmu-ilmu tersebut, misalnya memperbanyak operasi penyimpulan, mengadakan mubahtsah (diskusi) sebanyak mungkin agar dapat saling memberikan kritik, pembenaran, penyempurnaan dan pengesahan.
Ada beberapa hal yang bertalian erat dengan bakat-bakat alami yang tidak bisa diperoleh melalui pencarian atau belajar iktisabiah. Bakat-bakat seperti itu juga sanagat menentukan keberhasilan seseorang untuk mencapai tingkat mujtahid, seperti kecerdasan yang maksimal, ketangkasan nalar, kejelian analisa dan sebagainya. Kapasitas kecerdasan dan tingkat kejelian yang berbeda-beda, sehingga diantara mereka lebih banyak yang gugur ditengah ujian yang harus ditempuh. Diantara mereka ada yang tidak mampu berpindah dari status muqallid, ada yang hanya mencapai status muhtath, ada pula yang mampu berijtihad walaupun sifatnya parsial dan ada pula yang berhasil menjadi mujtahid-mujtahid mutlak, bahkan menjadi panutan (muqallad), meski yang demikian jarang dan terbatas.
Definisi Ilmu Ushul Al Fiqh
Sejak dulu hingga kini ilmu Ushul-Fiqh mempunyai definisi yang bermacam-macam. Dikalangan Ushuliyah sendiri terjadi perselisihan yang berkepanjangan tentang setiap definisi yang ada; proporsional (jami' wa mani') atau tidaknya, sempurna atau cacat, meskipun sebagian besar perselisihan itu memang diciptakan untuk tujuan pendekatan dan memberikan pemahaman serta kejelasan. Konon, tidak ada perselisihan mengenai terminology (istilah).
Diantara sekian banyak definisi yang ada, definisi Sayyid Muhammad Baqir Shadr adalah yang paling relevan. Ilmu Ushul Fiqh menurut beliau adalah ilmu unsur-unsur yang tergabung dalam penyimpulan hukum syar'i. Yang dimaksud dengan unsur-unsur tergabung adalah dasar-dasar umum (al anashir al musytarakah) yang tercakup dalam operasi penyimpulan hukum yang bermacam-macam pada bab-bab yang berbeda. Melalui proposisi-proposisi besar Syllogisme Demonstrable (Al Kubrayaat Al Qiyas Al Burhani) dan penggabungannya dengan proposisi kecil (Sugrayaat) lain seperti ayat lahitiah (muhkamat) atau riwayat yang shahih serta tidak bertentangan dengan salah satu kriteria premis yang dapat dijadikan dalil serta konotasinya menyangkut suatu hal , dapat diperoleh hukum syari'at yang menjamin hilangnya beban kewajiban taklif dan beban moral (Al Hukum Al Mubarri' Lizd-Dzimmah) dalam dua bagiannya; yang riil dan actual. Sebagai contohnya bila seorang mujtahid dihadapkan pada pertanyaan: "haramkah bagi orang yang sedang berpuasa membenamkan kepalanya ke dalam air?", maka mujtahid harus segera menelitiAl Qur'an. Jika tidak didapati hukum tentang hal itu di dalam Al Qur'an dia harus meneliti Sunnah (Nabi saw dan para Imam as). kemudian dari Sunnah itu dia temukan riwayat Ya'qub bin Syu'aib dari Imam Abu Abdillah Ash Shadiq as. yang mengatakan: "orang-orang yang sedang berpuasa tidak dibolehkan membenamkan kepalanya ke dalam air. Yang dalam susunan dan jumlah katanya menurut opini berkonotasi pengharaman, lalu terbukti riwayatnya tidak bertentangan dengan riwayat lain demikian juga dengan keshahihan sanadnya (jalur perawi-perawinya). Setelah menempuh proposisi-proposisi ini semua maka mujtahid itu mengambil prosisi kecilnya yaitu konotasi riwayat tersebut menurut standar opini (Al Urf Al Am) yaitu hukum haram. Disinilah unsur-unsur tergabung itu memberikan ketetapan bahwa riwayat dari orang yang tsiqah (dipercaya) adalah dalil yang bisa diandalkan.
Sedangkan Ya'qub bin Syu'aib adalah pribadi terpercaya, sebagaimana dibuktikan dalam buku-buku rijal. Syllogisme menyangkut contoh masalah ini dapat kita uraikan dalam bentuk penjabaran (syakl) sebagai berikut:
1. Kubra (mayor): riwayat Ya'qub bin Syu'aib yang sudah dipercaya berkonotasi keharaman bagi seorang yang sedang berpuasa membenamkan kepala ke dalam air.
2. Sughra (minor): riwayat dari seorang yang terpercaya, oleh syar'I (pembuat syari'at) dianggap hujjah.
3. Natijah (konsekuensi): orang yang sedang berpuasa diharamkan membenamkan kepalanya ke dalam air.
Untuk setiap kasus yang dipelajari, unsure-unsur tergabung yang terletak dalam proposisi pertama syllogisme- syllogisme demonstrable yang dilakukan oleh seorang faqih untuk mendapatkan syari'ar far'I (bersifat cabang) yang menghapus beban taklif dipelajari lewat ilmu Ushul Fiqh. Maka keshahihan riwayat sorang tsiqah sebagai dalil adalah unsure tergabung yang tercantum dalam berbagai analogi dan syllogisme demonstrable, sedangkan riwayat Ya'qub bin Syu'aib (misalnya) adalah unsure khusus dalam kasus ini.
Obyek Ilmu Ushul Fiqh
Dari definisi yang telah disebutkan kita mengetahui bahwa ilmu ushul fiqh mempelajari dalil-dalil yang tergabung dalam ilmu fiqh bagi penetapan peran dan funsinya sebagai dalil. Dengan demikian obyek ilmu ushul fiq adalah dalil-dalil yang tergabung dalam argumentasi (deduksi) fiqh (Al Istidlal Al Fiqh).
Tujuan Ilmu Ushul Fiqh dan Kegunaannya
Setelah ilmu ushuluddin (pokok-pokok agama), ilmu Ushul Fiqh (pokok-pokok syari'at) juga mengandung tujuan yang mulia dan tertinggi serta memuat kegunaan dan manfaat yang sangat besar. Dengan ilmu inilah seorang faqih dapat menyimpulkan hukum-hukum syari'at (hukum-hukum sosial) dari dalil-dalilnya yang kemudian disampaikan kepada muqallidnya. Disamping itu, sebagaimana telah kita ketahui, ijtihad dalam semua hukum syari'at secara esensial bergantung pada ilmu ini, kecuali hukum-hukum tertentu yang tidak memerlukan taqlid apalagi ijtihad.
Metode-metode Utama Pembuktian (penetapan) Dalam Ilmu Ushul Fiqh
Metode-metode utama itu ialah:
Al Bayan Asy Syar'iy dan Al Idrak Al Aqli. Al Bayan Asy Syar'iy (pernyataan syar'i) terbagi menjadi dua:
Pertama: Al Qur'an Al Karim, yaitu sumber pertama syari'at. Al Qur'an adalah "Bayan" (keterangan, pernyataan dan penjelas). Allah Swt dalam surah Ali Imran ayat 148 berfirman:"Ini (Al Qur'an) adalah keterangan (bayan) dan petunjuk (huda) bagi manusia)."
Kedua: Sunnah (menurut Imamiah), yaitu ucapan, tindakan dan sikap setuju (mendiamkan suatu masalah dan peristiwa) setiap manusia ma'shum (Rasulullah saw, Fathimah dan duabelas Imam as)
Sunnah adalah bayan Allah, sebagaimana firman-Nya:" dan tidak Aku turunkan Adz Dzikr melainkan untuk memberikan keterangan kepada manusia" (surat An Nahl: 44).
Standar dan tolok ukur Sunnah adalah Al Qur'an Al Karim, berdasarkan ucapan Imam Al Shadiq as:" perhatikan perintah kami dan semua yang datang dari kami. Bila kalian temukan itu sesuai dengan Al Qur'an, ambillah! Jika tidak, tolaklah, dan jika tidak jelas diamkan (jangan menerima atau menolakk), lalu ajukan kepada kami sehingga kami dapat menjelaskan kepada kalian sebagaimana telah dijelaskan kepada kami."
Al Idrak Al Aqli (pemahaman rasional) memiliki beberapa sumber dan tingkat. Para ulama ushul fiqh telah merancang dasar-dasar dan kerangkanyakemudian dan menjawab beberapa keberatan dan kesalahpahaman kelompok akhbariyun, yang terlalu panjang untuk disebutkan dalam buku kecil ini. Bagi yang berminat mengetahuinya. Kami sarankan untuk menkaji buku-buku ushulul fiqh mengenai masalah tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar