Senin, 06 Desember 2010

Filsafat Ilmu Sebuah Study Tentang Pengertian dan Perkembangannya


A. Pengertian Filsafat Ilmu
Untuk memahami arti dan makna filsafat ilmu, di bawah ini dikemukakan pengertian filsafat ilmu dari beberapa ahli yang terangkum dalam Filsafat Ilmu, yang disusun oleh Ismaun (2001)
1. Robert Ackerman “philosophy of science in one aspect as a critique of current scientific opinions by comparison to proven past views, but such aphilosophy of science is clearly not a discipline autonomous of actual scientific paractice”. (Filsafat ilmu dalam suatu segi adalah suatu tinjauan kritis tentang pendapat-pendapat ilmiah dewasa ini dengan perbandingan terhadap kriteria-kriteria yang dikembangkan dari pendapat-pendapat demikian itu, tetapi filsafat ilmu jelas bukan suatu kemandirian cabang ilmu dari praktek ilmiah secara aktual.
2. Lewis White Beck “Philosophy of science questions and evaluates the methods of scientific thinking and tries to determine the value and significance of scientific enterprise as a whole. (Filsafat ilmu membahas dan mengevaluasi metode-metode pemikiran ilmiah serta mencoba menemukan dan pentingnya upaya ilmiah sebagai suatu keseluruhan)
3. A. Cornelius Benjamin “That philosopic disipline which is the systematic study of the nature of science, especially of its methods, its concepts and presuppositions, and its place in the general scheme of intellectual discipines. (Cabang pengetahuan filsafati yang merupakan telaah sistematis mengenai ilmu, khususnya metode-metodenya, konsep-konsepnya dan praanggapan-praanggapan, serta letaknya dalam kerangka umum cabang-cabang pengetahuan intelektual.)
4. Michael V. Berry “The study of the inner logic if scientific theories, and the relations between experiment and theory, i.e. of scientific methods”. (Penelaahan tentang logika interen dari teori-teori ilmiah dan hubungan-hubungan antara percobaan dan teori, yakni tentang metode ilmiah.)
5. May Brodbeck “Philosophy of science is the ethically and philosophically neutral analysis, description, and clarifications of science.” (Analisis yang netral secara etis dan filsafati, pelukisan dan penjelasan mengenai landasan – landasan ilmu.
6. Peter Caws “Philosophy of science is a part of philosophy, which attempts to do for science what philosophy in general does for the whole of human experience. Philosophy does two sorts of thing: on the other hand, it constructs theories about man and the universe, and offers them as grounds for belief and action; on the other, it examines critically everything that may be offered as a ground for belief or action, including its own theories, with a view to the elimination of inconsistency and error. (Filsafat ilmu merupakan suatu bagian filsafat, yang mencoba berbuat bagi ilmu apa yang filsafat seumumnya melakukan pada seluruh pengalaman manusia. Filsafat melakukan dua macam hal : di satu pihak, ini membangun teori-teori tentang manusia dan alam semesta, dan menyajikannya sebagai landasan-landasan bagi keyakinan dan tindakan; di lain pihak, filsafat memeriksa secara kritis segala hal yang dapat disajikan sebagai suatu landasan bagi keyakinan atau tindakan, termasuk teori-teorinya sendiri, dengan harapan pada penghapusan ketakajegan dan kesalahan
7. Stephen R. Toulmin “As a discipline, the philosophy of science attempts, first, to elucidate the elements involved in the process of scientific inquiry observational procedures, patens of argument, methods of representation and calculation, metaphysical presuppositions, and so on and then to veluate the grounds of their validity from the points of view of formal logic, practical methodology and metaphysics”. (Sebagai suatu cabang ilmu, filsafat ilmu mencoba pertama-tama menjelaskan unsur-unsur yang terlibat dalam proses penyelidikan ilmiah prosedur-prosedur pengamatan, pola-pola perbinacangan, metode-metode penggantian dan perhitungan, pra-anggapan-pra-anggapan metafisis, dan seterusnya dan selanjutnya menilai landasan-landasan bagi kesalahannya dari sudut-sudut tinjauan logika formal, metodologi praktis, dan metafisika).
Berdasarkan pendapat di atas kita memperoleh gambaran bahwa filsafat ilmu merupakan telaah kefilsafatan yang ingin menjawab pertanyaan mengenai hakikat ilmu, yang ditinjau dari segi ontologis, epistemelogis maupun aksiologisnya. Dengan kata lain filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengakaji hakikat ilmu, seperti :
1. Obyek apa yang ditelaah ilmu ? Bagaimana ujud yang hakiki dari obyek tersebut? Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia yang membuahkan pengetahuan ? (Landasan ontologis)
2. Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar mendakan pengetahuan yang benar? Apakah kriterianya? Apa yang disebut kebenaran itu? Adakah kriterianya? Cara/teknik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu? (Landasan epistemologis)
3. Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral ? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/profesional ? (Landasan aksiologis). (Jujun S. Suriasumantri, 1982)

B. Fungsi Filsafat Ilmu
Filsafat ilmu merupakan salah satu cabang dari filsafat. Oleh karena itu, fungsi filsafat ilmu kiranya tidak bisa dilepaskan dari fungsi filsafat secara keseluruhan, yakni :
1. Sebagai alat mencari kebenaran dari segala fenomena yang ada.
2. Mempertahankan, menunjang dan melawan atau berdiri netral terhadap pandangan filsafat lainnya.
3. Memberikan pengertian tentang cara hidup, pandangan hidup dan pandangan dunia.
4. Memberikan ajaran tentang moral dan etika yang berguna dalam kehidupan
5. Menjadi sumber inspirasi dan pedoman untuk kehidupan dalam berbagai aspek kehidupan itu sendiri, seperti ekonomi, politik, hukum dan sebagainya. Disarikan dari Agraha Suhandi (1989)
Sedangkan Ismaun (2001) mengemukakan fungsi filsafat ilmu adalah untuk memberikan landasan filosofik dalam memahami berbagi konsep dan teori sesuatu disiplin ilmu dan membekali kemampuan untuk membangun teori ilmiah. Selanjutnya dikatakan pula, bahwa filsafat ilmu tumbuh dalam dua fungsi, yaitu: sebagai confirmatory theories yaitu berupaya mendekripsikan relasi normatif antara hipotesis dengan evidensi dan theory of explanation yakni berupaya menjelaskan berbagai fenomena kecil ataupun besar secara sederhana.

C. Substansi Filsafat Ilmu
Telaah tentang substansi Filsafat Ilmu, Ismaun (2001) memaparkannya dalam empat bagian, yaitu substansi yang berkenaan dengan: (1) fakta atau kenyataan, (2) kebenaran (truth), (3) konfirmasi dan (4) logika inferensi.
1. Fakta atau kenyataan
Fakta atau kenyataan memiliki pengertian yang beragam, bergantung dari sudut pandang filosofis yang melandasinya.
a. Positivistik berpandangan bahwa sesuatu yang nyata bila ada korespondensi antara yang sensual satu dengan sensual lainnya.
b. Fenomenologik memiliki dua arah perkembangan mengenai pengertian kenyataan ini. Pertama, menjurus ke arah teori korespondensi yaitu adanya korespondensi antara ide dengan fenomena. Kedua, menjurus ke arah koherensi moralitas, kesesuaian antara fenomena dengan sistem nilai.
c. Rasionalistik menganggap suatu sebagai nyata, bila ada koherensi antara empirik dengan skema rasional, dan
d. Realisme-metafisik berpendapat bahwa sesuatu yang nyata bila ada koherensi antara empiri dengan obyektif.
e. Pragmatisme memiliki pandangan bahwa yang ada itu yang berfungsi.

Di sisi lain, Lorens Bagus (1996) memberikan penjelasan tentang fakta obyektif dan fakta ilmiah. Fakta obyektif yaitu peristiwa, fenomen atau bagian realitas yang merupakan obyek kegiatan atau pengetahuan praktis manusia. Sedangkan fakta ilmiah merupakan refleksi terhadap fakta obyektif dalam kesadaran manusia. Yang dimaksud refleksi adalah deskripsi fakta obyektif dalam bahasa tertentu.
Fakta ilmiah merupakan dasar bagi bangunan teoritis. Tanpa fakta-fakta ini bangunan teoritis itu mustahil. Fakta ilmiah tidak terpisahkan dari bahasa yang diungkapkan dalam istilah-istilah dan kumpulan fakta ilmiah membentuk suatu deskripsi ilmiah.

2. Kebenaran (truth)
Sesungguhnya, terdapat berbagai teori tentang rumusan kebenaran. Namun secara tradisional, kita mengenal 3 teori kebenaran yaitu koherensi, korespondensi dan pragmatik (Jujun S. Suriasumantri, 1982). Sementara, Michel William mengenalkan 5 teori kebenaran dalam ilmu, yaitu : kebenaran koherensi, kebenaran korespondensi, kebenaran performatif, kebenaran pragmatik dan kebenaran proposisi. Bahkan, Noeng Muhadjir menambahkannya satu teori lagi yaitu kebenaran paradigmatik. (Ismaun; 2001)
a. Kebenaran koherensi - yaitu adanya kesesuaian atau keharmonisan antara sesuatu yang lain dengan sesuatu yang memiliki hirarki yang lebih tinggi dari sesuatu unsur tersebut, baik berupa skema, sistem, atau pun nilai. Koherensi ini bisa pada tatanan sensual rasional mau pun pada dataran transendental.
b. Kebenaran korespondensi - Berfikir benar korespondensial adalah berfikir tentang terbuktinya sesuatu itu relevan dengan sesuatu lain. Koresponsdensi relevan dibuktikan adanya kejadian sejalan atau berlawanan arah antara fakta dengan fakta yang diharapkan, antara fakta dengan belief yang diyakini, yang sifatnya spesifik
c. Kebenaran performatif - Ketika pemikiran manusia menyatukan segalanya dalam tampilan aktual dan menyatukan apapun yang ada dibaliknya, baik yang praktis yang teoritik, maupun yang filosofik, orang mengetengahkan kebenaran tampilan aktual. Sesuatu benar bila memang dapat diaktualkan dalam tindakan.
d. Kebenaran pragmatik - Yang benar adalah yang konkret, yang individual dan yang spesifik dan memiliki kegunaan praktis.
e. Kebenaran proposisi - Proposisi adalah suatu pernyataan yang berisi banyak konsep kompleks, yang merentang dari yang subyektif individual sampai yang obyektif. Suatu kebenaran dapat diperoleh bila proposisi-proposisinya benar. Dalam logika Aristoteles, proposisi benar adalah bila sesuai dengan persyaratan formal suatu proposisi. Pendapat lain yaitu dari Euclides, bahwa proposisi benar tidak dilihat dari benar formalnya, melainkan dilihat dari benar materialnya.
f. Kebenaran struktural paradigmatik - Sesungguhnya kebenaran struktural paradigmatik ini merupakan perkembangan dari kebenaran korespondensi. Sampai sekarang analisis regresi, analisis faktor, dan analisis statistik lanjut lainnya masih dimaknai pada korespondensi unsur satu dengan lainnya. Padahal semestinya keseluruhan struktural tata hubungan itu yang dimaknai, karena akan mampu memberi eksplanasi atau inferensi yang lebih menyeluruh.
3. Konfirmasi
Fungsi ilmu adalah menjelaskan, memprediksi proses dan produk yang akan datang, atau memberikan pemaknaan. Pemaknaan tersebut dapat ditampilkan sebagai konfirmasi absolut atau probalistik. Menampilkan konfirmasi absolut biasanya menggunakan asumsi, postulat, atau axioma yang sudah dipastikan benar. Tetapi tidak salah bila mengeksplisitkan asumsi dan postulatnya. Sedangkan untuk membuat penjelasan, prediksi atau pemaknaan untuk mengejar kepastian probabilistik dapat ditempuh secara induktif, deduktif, ataupun reflektif.
4. Logika inferensi
Logika inferensi yang berpengaruh lama sampai perempat akhir abad XX adalah logika matematika, yang menguasai positivisme. Positivistik menampilkan kebenaran korespondensi antara fakta. Fenomenologi Russel menampilkan korespondensi antara yang dipercaya dengan fakta. Belief pada Russel memang memuat moral, tapi masih bersifat spesifik, belum ada skema moral yang jelas, tidak general sehingga inferensi penelitian berupa kesimpulan kasus atau kesimpulan ideografik.
Post-positivistik dan rasionalistik menampilkan kebenaran koheren antara rasional, koheren antara fakta dengan skema rasio, Fenomena Bogdan dan Guba menampilkan kebenaran koherensi antara fakta dengan skema moral. Realisme metafisik Popper menampilkan kebenaran struktural paradigmatik rasional universal dan Noeng Muhadjir mengenalkan realisme metafisik dengan menampilkan kebenaranan struktural paradigmatik moral transensden. (Ismaun,200:9)
Di lain pihak, Jujun Suriasumantri (1982:46-49) menjelaskan bahwa penarikan kesimpulan baru dianggap sahih kalau penarikan kesimpulan tersebut dilakukan menurut cara tertentu, yakni berdasarkan logika. Secara garis besarnya, logika terbagi ke dalam 2 bagian, yaitu logika induksi dan logika deduksi.
D. Corak dan Ragam Filsafat Ilmu
Ismaun (2001:1) mengungkapkan beberapa corak ragam filsafat ilmu, diantaranya:
1. Filsafat ilmu-ilmu sosial yang berkembang dalam tiga ragam, yaitu : (1) meta ideologi, (2) meta fisik dan (3) metodologi disiplin ilmu.
2. Filsafat teknologi yang bergeser dari C-E (conditions-Ends) menjadi means. Teknologi bukan lagi dilihat sebagai ends, melainkan sebagai kepanjangan ide manusia.
3. Filsafat seni/estetika mutakhir menempatkan produk seni atau keindahan sebagai salah satu tri-partit, yakni kebudayaan, produk domain kognitif dan produk alasan praktis.
Produk domain kognitif murni tampil memenuhi kriteria: nyata, benar, dan logis. Bila etik dimasukkan, maka perlu ditambah koheren dengan moral. Produk alasan praktis tampil memenuhi kriteria oprasional, efisien dan produktif. Bila etik dimasukkan perlu ditambah human.manusiawi, tidak mengeksploitasi orang lain, atau lebih diekstensikan lagi menjadi tidak merusak lingkungan.
E. Perkembangan Filsafat Ilmu
Semenjak tahun 1960 filsafat ilmu mengalami perkembangan yang sangat pesat, terutama sejalan dengan pesatnya perkembangan ilmu dan teknologi yang ditopang penuh oleh positivisme-empirik, melalui penelaahan dan pengukuran kuantitatif sebagai andalan utamanya. Berbagai penemuan teori dan penggalian ilmu berlangsung secara mengesankan
Pada periode ini berbagai kejadian dan peristiwa yang sebelumnya mungkin dianggap sesuatu yang mustahil, namun berkat kemajuan ilmu dan teknologi dapat berubah menjadi suatu kenyataan. Bagaimana pada waktu itu orang dibuat tercengang dan terkagum-kagum, ketika Neil Amstrong benar-benar menjadi manusia pertama yang berhasil menginjakkan kaki di Bulan. Begitu juga ketika manusia berhasil mengembangkan teori rekayasa genetika dengan melakukan percobaan cloning pada kambing, atau mengembangkan cyber technology, yang memungkinkan manusia untuk menjelajah dunia melalui internet. Belum lagi keberhasilan manusia dalam mencetak berbagai produk nano technology , dalam bentuk mesin-mesin micro-chip yang serba mini namun memiliki daya guna sangat luar biasa.
Semua keberhasilan ini kiranya semakin memperkokoh keyakinan manusia terhadap kebesaran ilmu dan teknologi. Memang, tidak dipungkiri lagi bahwa positivisme-empirik yang serba matematik, fisikal, reduktif dan free of value telah membuktikan kehebatan dan memperoleh kejayaannya, serta memberikan kontribusi yang besar dalam membangun peradaban manusia seperti sekarang ini.
Namun, dibalik keberhasilan itu, ternyata telah memunculkan persoalan-persoalan baru yang tidak sederhana, dalam bentuk kekacauan, krisis dan chaos yang hampir terjadi di setiap belahan dunia ini. Alam menjadi marah dan tidak ramah lagi terhadap manusia, karena manusia telah memperlakukan dan mengexploitasinya tanpa memperhatikan keseimbangan dan kelestariannya. Berbagai gejolak sosial hampir terjadi di mana-mana sebagai akibat dari benturan budaya yang tak terkendali.
Kesuksesan manusia dalam menciptakan teknologi-teknologi raksasa ternyata telah menjadi boomerang bagi kehidupan manusia itu sendiri. Raksasa-raksasa teknologi yang diciptakan manusia itu seakan-akan berbalik untuk menghantam dan menerkam si penciptanya sendiri, yaitu manusia.
Berbagai persoalan baru sebagai dampak dari kemajuan ilmu dan teknologi yang dikembangkan oleh kaum positivisme-empirik, telah memunculkan berbagi kritik di kalangan ilmuwan tertentu. Kritik yang sangat tajam muncul dari kalangan penganut “Teori Kritik Masyarakat”, sebagaimana diungkap oleh Ridwan Al Makasary (2000:3). Kritik terhadap positivisme, kurang lebih bertali temali dengan kritik terhadap determinisme ekonomi, karena sebagian atau keseluruhan bangunan determinisme ekonomi dipancangkan dari teori pengetahuan positivistik. Positivisme juga diserang oleh aliran kritik dari berbagai latar belakang dan didakwa berkecenderungan mereifikasi dunia sosial. Selain itu Positivisme dipandang menghilangkan pandangan aktor, yang direduksi sebatas entitas pasif yang sudah ditentukan oleh “kekuatan-kekuatan natural”. Pandangan teoritikus kritik dengan kekhususan aktor, di mana mereka menolak ide bahwa aturan aturan umum ilmu dapat diterapkan tanpa mempertanyakan tindakan manusia. Akhirnya “ Teori Kritik Masyarakat” menganggap bahwa positivisme dengan sendirinya konservatif, yang tidak kuasa menantang sistem yang eksis.
Senada dengan pemikiran di atas, Nasution (1996:4) mengemukan pula tentang kritik post-positivime terhadap pandangan positivisme yang bercirikan free of value, fisikal, reduktif dan matematika.
Aliran post-positivime tidak menerima adanya hanya satu kebenaran,. Rich (1979) mengemukakan “There is no the truth nor a truth – truth is not one thing, – or even a system. It is an increasing completely” Pengalaman manusia begitu kompleks sehingga tidak mungkin untuk diikat oleh sebuah teori. Freire (1973) mengemukakan bahwa tidak ada pendidikan netral, maka tidak ada pula penelitian yang netral.
Usaha untuk menghasilkan ilmu sosial yang bebas nilai makin di-tinggalkan karena tak mungkin tercapai dan karena itu bersifat “self deceptive” atau penipuan diri dan digantikan oleh ilmu sosial yang ber-dasarkan ideologi tertentu. Hesse (1980) mengemukakan bahwa kenetralan dalam penelitian sosial selalu merupakan problema dan hanya merupakan suatu ilusi. Dalam penelitian sosial tidak ada apayang disebut “obyektivitas”. “ Knowledge is a’socially contitued’, historically embeded, and valuationally. Namun ini tidak berarti bahwa hasil penelitian bersifat subyektif semata-mata, oleh sebab penelitian harus selalu dapat dipertanggungjawabkan secara empirik, sehingga dapat dipercaya dan diandalkan. Macam-macam cara yang dapat dilakukan untuk mencapai tingkat kepercayaan hasil penelitian
Jelasnya, apabila kita mengacu kepada pemikiran Thomas Kuhn dalam bukunya The Structure of Scientific Revolutions (1962) bahwa per-kembangan filsafat ilmu, terutama sejak tahun 1960 hingga sekarang ini sedang dan telah mengalami pergeseran dari paradigma positivisme-empirik,–yang dianggap telah mengalami titik jenuh dan banyak mengandung kelemahan–, menuju paradigma baru ke arah post-positivisme yang lebih etik.
Terjadinya perubahan paradigma ini dijelaskan oleh John M.W. Venhaar (1999:) bahwa perubahan kultural yang sedang terwujud akhir-akhir ini, –perubahan yang sering disebut purna-modern, meliputi persoalan-persoalan sebagai berikut :
1. antihumanisme,
2. dekonstruksi, dan
3. fragmentasi identitas.
Ketiga unsur ini memuat tentang berbagai problem yang berhubungan dengan fungsi sosial cendekiawan dan pentingnya paradigma kultural,– terutama dalam karya intelektual untuk memahami identitas manusia.


Daftar Pustaka
Achmad Sanusi,.(1998), Filsafah Ilmu, Teori Keilmuan, dan Metode Penelitian : Memungut dan Meramu Mutiara-Mutiara yang Tercecer, Makalah, Bandung PS-IKIP Bandung.
Achmad Sanusi, (1999), Titik Balik Paradigma Wacana Ilmu : Implikasinya Bagi Pendidikan, Makalah, Jakarta : MajelisPendidikan Tinggi Muhammadiyah.
Agraha Suhandi, Drs., SHm.,(1992), Filsafat Sebagai Seni untuk Bertanya, (Diktat Kuliah), Bandung : Fakultas Sastra Unpad Bandung.
Filsafat_ Ilmu, http://members.tripod.com/aljawad/artikel/filsafat_ilmu.htm.
Ismaun, (2001), Filsafat Ilmu, (Diktat Kuliah), Bandung : UPI Bandung.
Jujun S. Suriasumantri, (1982), Filsafah Ilmu : Sebuah Pengantar Populer, Jakarta : Sinar Harapan.
Mantiq, http://media.isnet.org./islam/etc/mantiq.htm.
Moh. Nazir, (1983), Metode Penelitian, Jakarta : Ghalia Indonesia
Muhammad Imaduddin Abdulrahim, (1988), Kuliah Tawhid, Bandung : Yayasan Pembina Sari Insani (Yaasin)
0 komentar Diposkan oleh ZABAZ di 02.20
FILSAFAT ILMU
SEBUAH KAJIAN TENTANG BAGAIMANA MANUSIA MEMPEROLEH DAN MEMAKNAI ILMU


TEORI PENGETAHUAN
Pengetahuan (knowledge atau ilmu )adalah bagian yang esensial- aksiden manusia, karena pengetahuan adalah buah dari "berpikir ". Berpikir ( atau natiqiyyah) adalah sebagai differentia ( atau fashl) yang memisahkan manusia dari sesama genus-nya,yaitu hewan. Dan sebenarnya kehebatan manusia dan " barangkali " keunggulannya dari spesies-spesies lainnya karena pengetahuan-nya. Kemajuan manusia dewasa ini tidak lain karena pengetahuan yang dimilikinya. Lalu apa yang telah dan ingin diketahui oleh manusia ? Bagaimana manusia berpengetahuan ? Apa yang ia lakukan dan dengan apa agar memiliki pengetahuan ? Kemudian apakah yang ia ketahui itu benar ? Dan apa yang mejadi tolak ukur kebenaran ?
Pertanyaan-pertanyaan di atas sebenarnya sederhana sekali karena pertanyaan-pertanyaan ini sudah terjawab dengan sendirinya ketika manusia sudah masuk ke alam realita. Namun ketika masalah-masalah itu diangkat dan dibedah dengan pisau ilmu maka tidak menjadi sederhana lagi. Masalah-masalah itu akan berubah dari sesuatu yang mudah menjadi sesuatu yang sulit, dari sesuatu yang sederhana menjadi sesuatu yang rumit (complicated). Oleh karena masalah-masalah itu dibawa ke dalam pembedahan ilmu, maka ia menjadi sesuatu yang diperselisihkan dan diperdebatkan. Perselisihan tentangnya menyebabkan perbedaan dalam cara memandang dunia (world view), sehingga pada gilirannya muncul perbedaan ideologi. Dan itulah realita dari kehidupan manusia yang memiliki aneka ragam sudut pandang dan ideologi.
Atas dasar itu, manusia -paling tidak yang menganggap penting masalah-masalah diatas- perlu membahas ilmu dan pengetahuan itu sendiri. Dalam hal ini, ilmu tidak lagi menjadi satu aktivitas otak, yaitu menerima, merekam, dan mengolah apa yang ada dalam benak, tetapi ia menjadi objek. Para pemikir menyebut ilmu tentang ilmu ini dengan epistemologi (teori pengetahuan atau nadzariyyah al ma'rifah).
Epistemologi menjadi sebuah kajian, sebenarnya, belum terlalu lama, yaitu sejak tiga abad yang lalu dan berkembang di dunia barat. Sementara di dunia Islam kajian tentang ini sebagai sebuah ilmu tersendiri belum populer. Belakangan beberapa pemikir dan filusuf Islam menuliskan buku tentang epistemologi secara khusus seperti, Mutahhari dengan bukunya "Syinakht", Muhammad Baqir Shadr dengan "Falsafatuna"-nya, Jawad Amuli dengan "Nadzariyyah al Ma'rifah"-nya dan Ja'far Subhani dengan "Nadzariyyah al Ma'rifah"-nya. Sebelumnya, pembahasan tentang epistemologi di bahas di sela-sela buku-buku filsafat klasik dan mantiq. Mereka -barat- sangat menaruh perhatian yang besar terhadap kajian ini, karena situasi dan kondisi yang mereka hadapi. Dunia barat (baca: Eropa) mengalami ledakan kebebasan berekspresi dalam segala hal yang sangat besar dan hebat yang merubah cara berpikir mereka. Mereka telah bebas dari trauma intelektual.
Adalah Renaissance yang paling berjasa bagi mereka dalam menutup abad kegelapan Eropa yang panjang dan membuka lembaran sejarah mereka yang baru. Supremasi dan dominasi gereja atas ilmu pengetahuan telah hancur. Sebagai akibat dari runtuhnya gereja yang memandang dunia dangan pandangan yang apriori atas nama Tuhan dan agama, mereka mencoba mencari alternatif lain dalam memandang dunia (baca: realita). Maka dari itu, bemunculan berbagai aliran pemikiran yang bergantian dan tidak sedikit yang kontradiktif. Namun secara garis besar aliran-aliran yang sempat muncul adalah ada dua, yakni aliran rasionalis dan empiris. Dan sebagian darinya telah lenyap. Dari kaum rasionalis muncul Descartes, Imanuel Kant, Hegel dan lain-lain. Dan dari kaum empiris adalah Auguste Comte dengan Positivismenya, Wiliam James dengan Pragmatismenya, Francis Bacon dengan Sensualismenya.
Berbeda dengan barat, di dunia Islam tidak terjadi ledakan seperti itu, karena dalam Islam agama dan ilmu pengetahuan berjalan seiring dan berdampingan, meskipun terdapat beberapa friksi antara agama dan ilmu, tetapi itu sangat sedikit dan terjadi karena interpretasi dari teks agama yang terlalu dini. Namun secara keseluruhan agama dan ilmu saling mendukung. Malah tidak sedikit dari ulama Islam, juga sebagai ilmuwan seperti : Ibnu Sina, al Farabi, Jabir bin al Hayyan, al Khawarizmi, Syekh al Thusi dan yang lainnya. Oleh karena itu, ledakan intelektual dalam Islam tidak terjadi. Perkembangan ilmu di dunia Islam relatif stabil dan tenang.

FILSAFAT
Filsafat berasal dari bahasa Yunani yang telah di-Arabkan. Kata ini barasal dari dua kata "philos" dan "shopia" yang berarti pecinta pengetahuan. Konon yang pertama kali menggunakan kata "philoshop" adalah Socrates. (dan masih konon juga) Dia menggunakan kata ini karena dua alasan, Pertama, kerendah-hatian dia. Meskipun ia seorang yang pandai dan luas pengetahuannya, dia tidak mau menyebut dirinya sebagai orang yang pandai. Tetapi dia memilih untuk disebut pecinta pengetahuan.
Kedua, pada waktu itu, di Yunani terdapat beberapa orang yang meng-anggap diri mereka orang yang pandai (shopis). Mereka pandai bersilat lidah, sehingga apa yang mereka anggap benar adalah benar. Jadi kebenaran tergantung apa yang mereka katakan. Kebenaran yang riil tidak ada. Akhirnya manusia waktu itu terjangkit skeptis, artinya mereka ragu-ragu terhadap segala sesuatu, karena apa yang mereka anggap benar belum tentu benar dan kebenaran tergantung orang-orang shopis. Dalam keadaan seperti ini, Socrates merasa perlu membangun kepercayaan kepada manusia bahwa kebenaran itu ada dan tidak harus tergantung kepada kaum shopis. Dia berhasil dalam upayanya itu dan mengalahkan kaum shopis. Meski dia berhasil, ia tidak ingin dikatakan pandai, tetapi ia memilih kata philoshop sebagai sindiran kepada mereka yang sok pandai.
Kemudian perjuangannya dilanjutkan oleh Plato, yang dikembangkan lebih jauh oleh Aristoteles. Aristoteles menyusun kaidah-kaidah berpikir dan berdalil yang kemudian dikenal dengan logika (mantiq) Aristotelian.
Pada mulanya kata filsafat berarti segala ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia. Mereka membagi filsafat kepada dua bagian yakni, filsafat teoritis dan filsafat praktis. Filsafat teoritis mencakup: (1) ilmu pengetahuan alam, seperti: fisika, biologi, ilmu pertambangan dan astronomi; (2) ilmu eksakta dan matematika; (3) ilmu tentang ketuhanan dan methafisika. Filsafat praktis mencakup: (1) norma-norma (akhlak); (2) urusan rumah tangga; (3) sosial dan politik. Filusuf adalah orang yang mengetahui semua cabang-cabang ilmu pengetahuan tadi.

MUNGKINKAH MANUSIA ITU MEMPUNYAI PENGETAHUAN ?
Masalah epistemologis yang sejak dahulu dan juga sekarang menjadi bahan kajian adalah, apakah berpengetahuan itu mungkin ? Apakah dunia (baca: realita) bisa diketahui ? Sekilas masalah ini konyol dan menggelikan. Tetapi terdapat beberapa orang yang mengingkari pengetahuan atau meragukan pengetahuan. Misalnya, bapak kaum sophis, Georgias, pernah dikutip darinya sebuah ungkapan berikut, "Segala sesuatu tidak ada. Jika adapun, maka tidak dapat diketahui, atau jika dapat diketahui, maka tidak bisa diinformasikan."
Mereka mempunyai beberapa alasan yang cukup kuat ketika berpendapat bahwa pengetahuan sesuatu yang tidak ada atau tidak dapat dipercaya. Pyrrho salah seorang dari mereka menyebutkan bahwa manusia ketika ingin mengetahui sesuatu menggunakan dua alat yakni, indra dan akal. Indra yang merupakan alat pengetahuan yang paling dasar mempunyai banyak kesalahan, baik indra penglihat, pendengar, peraba, pencium dan perasa. Mereka mengatakan satu indra saja mempunyai kesalahan ratusan. Jika demikian adanya, maka bagaimana pengetahuan lewat indra dapat dipercaya ? Demikian pula halnya dengan akal. Manusia seringkali salah dalam berpikir. Bukti yang paling jelas bahwa di antara para filusuf sendiri terdapat perbedaan yang jelas tidak mungkin semua benar pasti ada yang salah. Maka akalpun tidak dapat dipercaya. Oleh karena alat pengetahuan hanya dua saja dan keduanya mungkin bersalah, maka pengetahuan tidak dapat dipercaya.
Pyrrho ketika berdalil bahwa pengetahuan tidak mungkin karena kasalahan-kesalahan yang indra dan akal, sebenarnya, ia telah mengetahui (baca: meyakini) bahwa pengetahuan tidak mungkin. Dan itu merupakan pengetahuan. Itu pertama. Kedua, ketika ia mengatakan bahwa indra dan akal seringkali bersalah, atau katakan, selalu bersalah, berarti ia mengetahui bahwa indra dan akal itu salah. Dan itu adalah pengetahuan juga. Alasan yang dikemukakan oleh Pyrrho tidak sampai pada kesimpulan bahwa pengetahuan sesuatu yang tidak mungkin. Alasan itu hanya dapat membuktikan bahwa ada kesalahan dalam akal dan indra tetapi tidak semua pengetahuan lewat keduanya salah. Oleh karen itu mesti ada cara agar akal dan indra tidak bersalah.
Menurut Ibnu Sina, ada cara lain yang lebih efektif untuk menghadapi mereka, yaitu pukullah mereka. Kalau dia merasakan kesakitan berarti mereka mengetahui adanya sakit (akhir dawa' kay).

" Cogito, ergosum "-nya Descartes.
Rene Descartes termasuk pemikir yang beraliran rasionalis. Ia cukup berjasa dalam membangkitkan kembali rasionalisme di barat. Muhammad Baqir Shadr memasukkannya ke dalam kaum rasionalis. Ia termasuk pemikir yang pernah mengalami skeptisme akan pengetahuan dan realita, namun ia selamat dan bangkit menjadi seorang yang meyakini realita. Bangunan rasionalnya beranjak dari keraguan atas realita dan pengetahuan. Ia mencari dasar keyakinannya terhadap Tuhan, alam, jiwa dan kota Paris. Dia mendapatkan bahwa yang menjadi dasar atau alat keyakinan dan pengetahuannya adalah indra dan akal. Ternyata keduanya masih perlu didiskusikan, artinya keduanya tidak memberika hal yang pasti dan meyakinkan. Lantas dia berpikir bahwa segala sesuatu bisa diragukan, tetapi ia tidak bisa meragukan akan pikirannya. Dengan kata lain ia meyakini dan mengetahui bahwa dirinya ragu-ragu dan berpikir. Ungkapannya yang populer dan sekaligus fondasi keyakinan dan pengetahuannya adalah " Saya berpikir (baca : ragu-ragu), maka saya ada ".
Argumentasinya akan realita menggunakan silogisme kategoris bentuk pertama, namun tanpa menyebutkan premis mayor. Saya berpikir, setiap yang berpikir ada, maka saya ada

Keraguan al Ghazzali.
Dari dunia Islam adalah Imam al Ghazzali yang pernah skeptis terhadap realita, namun iapun selamat dan menjadi pemikir besar dalam filsafat dan tashawwuf. Perkataannya yang populer adalah " Keraguan adalah kendaraan yang mengantarkan seseorang ke keyakinan ".

SUMBER DANA ALAT PENGETAHUAN.
Setelah pengetahuan itu sesuatu yang mungkin dan realistis, masalah yang dibahas dalam lliteratur-literatur epistimologi Islam adalah masalah yang berkaitan dengan sumber dan alat pengetahuan. Sesuai dengan hukum kausaliltas bahwa setiap akibat pasti ada sebabnya, maka pengetahuan adalah sesuatu yang sifatnya aksidental -baik menurut teori recolection-nya Plato, teori Aristoteles yang rasionalis-paripatetik, teori iluminasi-nya Suhrawardi, dan filsafat-materialisnya kaum empiris- dan pasti mempunyai sebab atau sumber. Tentu yang dianggap sebagai sumber pengetahuan itu beragam dan berbeda sebagaimana beragam dan berbedanya aliran pemikiran manusia. Selain pengetahuan itu mempunyai sumber, juga seseorang ketika hendak mengadakan kontak dengan sumber-sumber itu, maka dia menggunakan alat.
Para filusuf Islam menyebutkan beberapa sumber dan sekaligus alat pengetahuan, yaitu :
1. Alam tabi'at atau alam fisik
2. Alam Akal
3. Analogi ( Tamtsil)
4. Hati dan Ilham
1. Alam tabi'at atau alam fisik
Manusia sebagai wujud yang materi, maka selama di alam materi ini ia tidak akan lepas dari hubungannya dengan materi secara interaktif, dan hubungannya dengan materi menuntutnya untuk menggunakan alat yang sifatnya materi pula, yakni indra (al hiss), karena sesuatu yang materi tidak bisa dirubah menjadi yang tidak materi (inmateri). Contoh yang paling konkrit dari hubungan dengan materi dengan cara yang sifatnya materi pula adalah aktivitas keseharian manusia di dunia ini, sepert makan, minum, hubungan suami istri dan lain sebagianya. Dengan demikian, alam tabi'at yang materi merupakan sumber pengetahuan yang "barangkali" paling awal dan indra merupakan alat untuk berpengetahuan yang sumbernya tabi'at.
Tanpa indra manusia tidak dapat mengetahui alam tabi'at. Disebutkan bahwa, barang siapa tidak mempunyai satu indra maka ia tidak akan mengetahui sejumlah pengetahuan. Dalam filsafat Aristoteles klasik pengetahuan lewat indra termasuk dari enam pengetahuan yang aksioamatis (badihiyyat). Meski indra berperan sangat signifikan dalam berpengetahuan, namun indra hanya sebagai syarat yang lazim bukan syarat yang cukup. Peranan indra hanya memotret realita materi yang sifatnya parsial saja, dan untuk meng-generalisasi-kannya dibutuhkan akal. Malah dalam kajian filsafat Islam yang paling akhir, pengetahuan yang diperoleh melalui indra sebenarnya bukanlah lewat indra. Mereka mengatakan bahwa obyek pengetahuan (al ma'lum) ada dua macam, yaitu, (1) obyek pengetahuan yang substansial dan (2) obyek pengetahuan yang aksidental. Yang diketahui secara substansial oleh manusia adalah obyek yang ada dalam benak, sedang realita di luar diketahui olehnya hanya bersifat aksidental. Menurut pandangan ini, indra hanya merespon saja dari realita luar ke relita dalam.
Pandangan Sensualisme (al-hissiyyin).
Kaum sensualisme, khususnya John Locke, menganggap bahwa pengetahuan yang sah dan benar hanya lewat indra saja. Mereka mengatakan bahwa otak manusia ketika lahir dalam keadaan kosong dari segala bentuk pengetahuan, kemudian melalui indra realita-realita di luar tertanam dalam benak. Peranan akal hanya dua saja yaitu, menyusun dan memilah, dan meng-generalisasi. Jadi yang paling berperan adalah indra. Pengetahuan yang murni lewat akal tanpa indra tidak ada. Konskuensi dari pandangan ini adalah bahwa realita yang bukan materi atau yang tidak dapat bersentuhan dengan indra, maka tidak dapat diketahui, sehingga pada gilirannya mereka mengingkari hal-hal yang metafisik seperti Tuhan.

2. Alam Akal
Kaum Rasionalis, selain alam tabi'at atau alam fisika, meyakini bahwa akal merupakan sumber pengetahuan yang kedua dan sekaligus juga sebagai alat pengetahuan. Mereka menganggap akal-lah yang sebenarnya menjadi alat pengetahuan sedangkan indra hanya pembantu saja. Indra hanya merekam atau memotret realita yanng berkaitan dengannya, namun yang menyimpan dan mengolah adalah akal. Karena kata mereka, indra saja tanpa akal tidak ada artinya. Tetapi tanpa indra pangetahuan akal hanya tidak sempurna, bukan tidak ada.
Aktivitas-aktiviras Akal
a. Menarik kesimpulan. Yang dimaksud dengan menarik kesimpulan adalah mengambil sebuah hukum atas sebuah kasus tertentu dari hukum yang general. Aktivitas ini dalam istilah logika disebut silogisme kategoris demonstratif.
b. Mengetahui konsep-konsep yang general. Ada dua teori yang men-jelaskan aktivitas akal ini, pertama, teori yang mengatakan bahwa akal terlebih dahulu menghilangkan ciri-ciri yang khas dari beberapa person dan membiarkan titik-titik kesamaan mereka. Teori ini disebut dengan teori tajrid dan intiza'. Kedua, teori yang mangatakan bahwa penge-tahuan akal tentang konsep yang general melalui tiga tahapan, yaitu persentuhan indra dengan materi, perekaman benak, dan generalisasi.
c. Pengelompokan Wujud. Akal mempunyai kemampuan mengelompokkan segala yang ada di alam realita ke beberapa kelompok, misalnya realita-realita yang dikelompokkan ke dalam substansi, dan ke dalam aksdensi (yang sembilan macam).
d. Pemilahan dan Penguraian.
e. Penggabungan dan Penyusunan.
f. Kreativitas.

3. Analogi (Tamtsil)
Termasuk alat pengetahuan manusia adalah analogi yang dalam terminologi fiqih disebut qiyas. Analogi ialah menetapkan hukum (baca; predikat) atas sesuatu dengan hukum yang telah ada pada sesuatu yang lain karena adanya kesamaan antara dua sesuatu itu.
Analogi tersusun dari beberapa unsur; (1) asal, yaitu kasus parsial yang telah diketahui hukumnya. (2) cabang, yaitu kasus parsial yang hendak diketahui hukumnya, (3) titik kesamaan antara asal dan cabang dan (4) hukum yang sudah ditetapkan atas asal. Analogi itu sendiri dibagi menjadi dua;
a. Analogi interpretatif : Ketika sebuah kasus yang sudah jelas hukumnya, namun tidak diketahui illatnya atau sebab penetapannya.
b. Analogi Yang Dijelaskan illatnya : Kasus yang sudah jelas hukum dan illatnya.

4. Hati dan Ilham
Kaum empiris yang memandang bahwa ada sama dengan materi sehingga sesuatu yang inmateri adalah tidak ada, maka pengetahuan tentang in materi tidak mungkin ada. Sebaliknya kaum Ilahi ( theosopi) yang meyakini bahwa ada lebih luas dari sekedar materi, mereka mayakini keberadaan hal-hal yang inmateri. Pengetahuan tentangnya tidak mungkin lewat indra tetapi lewat akal atau hati.
Tentu yang dimaksud dengan pengetahuan lewat hati disini adalah penngetahuan tentang realita inmateri eksternal, kalau yang internal seperti rasa sakit, sedih, senang, lapar, haus dan hal-hal yang iintuitif lainnya diyakini keberadaannya oleh semua orang tanpa kecuali.

Bagaimana mengetahui lewat hati ?
Filusuf Ilahi Mulla Shadra ra. berkata, "Sesungguhnya ruh manusia jika lepas dari badan dan berhijrah menuju Tuhannya untuk menyaksikan tanda-tanda-Nya yang sangat besar, dan juga ruh itu bersih dari kamaksiatan-kemaksiatan, syahwat dan ketarkaitan, maka akan tampak padanya cahaya makrifat dan keimanan kepada Allah dan malakut-Nya yang sangat tinggi. Cahaya itu jika menguat dan mensubstansi, maka ia menjadi substansi yang qudsi, yang dalam istilah hikmah teoritis oleh para ahli hikmat disebut dengan akal efektif dan dalam istilah syariat kenabian disebut ruh yang suci. Dengan cahaya akal yang kuat, maka terpancar di dalamnya -yakni ruh manusia yang suci- rahasia-rahasia yang ada di bumi dan di langit dan akan tampak darinya hakikat-hakikat segala sesuatu sebagimana tampak dengan cahaya sensual mata (alhissi) gambaran-gambaran konsepsi dalam kekuatan mata jika tidak terhalang tabir. Tabir di sini -dalam pembahasan ini- adalah pengaruh-pengaruh alam tabiat dan kesibukan-kesibukan dunia, karena hati dan ruh -sesuai dengan bentuk ciptaannya- mempunyai kelayakan untuk menerima cahaya hikmah dan iman jika tidak dihinggapi kegelapan yang merusaknya seperti kekufuran, atau tabir yang menghalanginya seperti kemaksiatan dan yang berkaitan dengannya
Kemudian beliau melanjutkan, "Jika jiwa berpaling dari ajakan-ajakan tabiat dan kegelapan-kegelapan hawa nafsu, dan menghadapkan dirinya kepada Alhaq dan alam malakut, maka jiwa itu akan berhubungan dengan kebahagiaan yang sangat tinggi dan akan tampak padanya rahasia alam malakut dan terpantul padanya kesucian (qudsi) Lahut ." (al-Asfar al-Arba'ah jilid 7 halaman 24-25).
Tentang kebenaran realita alam ruh dan hati ini, Ibnu Sina berkata, "Sesungguhnya para 'arifin mempunyai makam-makam dan derajat-derajat yang khusus untuk mereka. Mereka dalam kehidupan dunia di bawah yang lain. Seakan-akan mereka itu, padahal mereka berada dengan badan mereka, telah melepaskan dan meninggalkannya untuk alam qudsi. Mereka dapat menyaksikan hal-hal yang halus yang tidak dapat dibayangkan dan diterangkan dengan lisan. Kesenangan mereka dengan sesuatu yang tidak dapat dilihat mata dan didengar telinga. Orang yang tidak menyukainya akan mengingkarinya dan orang yang memahaminya akan membesarkannya." (al-Isyarat jilid 3 bagian kesembilan tentang makam-makam para 'arif halaman 363-364)
Kemudian beliau melanjutkan, "Jika sampai kepadamu berita bahwa seorang 'arif berbicara -lebih dulu- tentang hal yang gaib (atau yang akan terjadi), dengan berita yang menyenangkan atau peringatan, maka percayailah. Dan sekali-sekali anda keberatan untuk mempercayainya, karena apa yang dia beritakan mempunyai sebab-sebab yang jelas dalam pandangan-pandangan (aliran-aliran) tabi'at."
Pengetahuan tentang alam gaib yang dicapai manusia lewat hati jika berkenaan dengan pribadi seseorang saja disebut ilham atau isyraq, dan jika berkaitan dengan bimbingan umat manusia dan penyempurnaan jiwa mereka dengan syariat disebut wahyu.

ISLAM DAN SUMBER-SUMBER PENGETAHUAN
Dalam teks-teks Islam -Qur'an dan Sunnah- dijelaskan tentang sumber dan alat pengetahuan:
1. Indra dan akal
Allah swt. berfirman, "Dan Allah yang telah mengeluarkan kalian dari perut ibu kalian, sementara kalian tidak mengetahui sesuatu pun, dan (lalu) Ia meciptakan untuk kalian pendengaran, penglihatan dan hati ( atau akal) agar kalian bersyukur ". (QS. al-Nahl: 78).
Islam tidak hanya menyebutkan pemberian Allah kepada manusia berupa indra, tetapi juga menganjurkan kita agar menggunakannya, misalnya dalam al-Qur'an Allah swt. berfirman, "Katakanlah, lihatlah segala yang ada di langit-langit dan di bumi." (QS. Yunus: 101 ). Dan ayat-ayat yang lainnya yang banyak sekali tentang anjuran untuk bertafakkur. Qur'an juga dalam membuktikan keberadaan Allah dengan pendekatan alam materi dan pendakatan akal yang murni seperti, "Seandainya di langit dan di bumi ada banyak tuhan selain Allah, niscaya keduanya akan hancur." (QS. al-Anbiya': 22). Ayat ini menggunakan pendekatan rasional yang biasa disebut dalam logika Aristotelian dengan silogisme hipotesis.
Atau ayat lain yang berbunyi, "Allah memberi perumpamaan, seorang yang yang diperebutkan oleh banyak tuan dengan seorang yang menyerahkan dirinya kepada seorang saja, apakah keduanya sama ?" (QS. al-Zumar: 29)
2. Hati
Allah swt berfirman, "Wahai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, niscaya Ia akan memberikan kepada kalian furqon." (QS. al-Anfal: 29) Maksud ayat ini adalah bahwa Allah swt. akan memberikan cahaya yang dengannya mereka dapat membedakan antara yang haq dengan yang batil. Atau ayat yang berbunyi, "Dan bertakwalah kepada Allah maka Ia akan mengajari kalian. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (QS. al-Baqarah: 282). Dan ayat-ayat yang lainnya.

SYARAT DAN PENGHALANG PENGETAHUAN.
Meskipun berpengetahuan tidak bisa dipisahkan dari manusia, namun seringkali ada hal-hal yang mestinya diketahui oleh manusia, ternyata tidak diketahui olehnya.
Oleh karena itu ada beberapa pra-syarat untuk memiliki pengetahuan, yaitu :
1. Konsentrasi - Orang yang tidak mengkonsentasikan (memfokuskan) indra dan akal pikirannya pada benda-benda di luar, maka dia tidak akan mengetahui apa yang ada di sekitarnya.
2. Akal yang sehat - Orang yang akalnya tidak sehat tidak dapat berpikir dengan baik. Akal yang tidak sehat ini mungkin karena penyakit, cacat bawaan atau pendidikan yang tidak benar.
3. Indra yang sehat - Orang yang salah satu atau semua indranya cacat maka tidak mengetahui alam materi yang ada di sekitarnya.
Jika syarat-syarat ini terpenuhi maka seseorang akan mendapatkan pengetahuan lewat indra dan akal. Kemudian pengetahuan daat dimiliki lewat hati. Pengetahuan ini akan diraih dengan syarat-syarat seperti, membersihkan hati dari kemaksiatan, memfokuskan hati kepada alam yang lebih tinggi, mengosongkan hati dari fanatisme dan mengikuti aturan-aturan sayr dan suluk. Seorang yang hatinya seperti itu akan terpantul di dalamnya cahaya Ilahi dan kesempurnaanNya.
Ketika syarat-syarat itu tidak terpenuhi maka pengetahuan akan terhalang dari manusia. Secara spesifik ada beberapa sifat yang menjadi penghalang pengetahuan, seperti sombong, fanatisme, taqlid buta (tanpa dasar yang kuat), kepongahan karena ilmu, jiwa yang lemah (jiwa yang mudah dipengaruhi pribadi-pribadi besar) dan mencintai materi secara berlebihan
0 komentar Diposkan oleh ZABAZ di 02.14
AL QUR'AN DALAM PERSPEKTIF SEJARAH PENULISAN DAN PEMBUKUANNYA



Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah
Study Al Qur'an





Oleh :
I H S A N

Dosen Pembina
Prof. Dr. Samsul Anam, MA.
Drs. Abd. Hadi AR, M.Ag





UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURABAYA
PROGRAM PASCA SARJANA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
2009

DAFTAR ISI



Halaman Judul 01
Daftar Isi 02

I. PENDAHULUAN …………………………………………………………………………………… 03
II. PENULISAN AL QUR'AN PADA MASA RASULULLAH SAW …………………………. 06
III. PENULISAN DAN PEMBUKUAN AL QUR'AN PADA MASA SHAHABAT
A. MASA KHULAFAU ROSYIDIN ……………………………………………………………. 14
1. Khalifah Abu Bakar Ash Shidieq ……………………………………………………. 14
2. Khalifah Utsman bin Affan ………………………………………………………….. 19
3. Perbedaan pembukuan pada masa Abu Bakar dan Utsman ……………. 25
B. PASCA MASA KHULAFAU RASYIDIN ………………………………………………… 26
1. Pemberian Harakat …………………………………………………………………. 27
2. Pemberian titik pada huruf …………………………………………………………. 30
3. Pemberian 8 tanda (Fathah, Kasroh dll) ……………………………………… 32
IV. PENGGANDAAN AL QUR'AN …………………………………………………………………… 33
V. KRITIK ORIENTALIS TERHADAP SEJARAH PENULISAN, PEMBUKUAN DAN PEWARISAN AL QUR'AN ……………………………………………………………………….. 36
VI. PENUTUP …………………………………………………………………………………………… 48

DAFTAR KEPUSTAKAAN 49

AL QUR'AN DALAM PERSPEKTIF SEJARAH PENULISAN
DAN PEMBUKUANNYA

I. PENDAHULUAN
Sebagaimana yang telah banyak dikemukakan, bahwa Al qur’an merupakan salah satu dari sekian banyak bukti kebenaran Islam. Bukti kebenaran Islam yang bernama Al Qur’an nampak-nya telah menarik banyak orang untuk mengkajinya, ada yang mengkaji pada aspek ke-susastraannya, makna dan kandungan hukumnya dll. Hal tersebut memberikan gambaran bahwa keberadaan Al Qur’an telah menyita banyak perhatian dunia, khususnya dunia ilmu pengetahuan.
Al Qur’an yang dalam bahasa Arab berarti bacaan atau suatu yang dibaca adalah wahyu Allah yang diberikan kepada Rasulullah dengan menggunakan Bahasa Arab dan bagi orang yang membacanya akan mendapatkan pahala. Al Qur’an diturunkan oleh Allah kepada Muhammad sebagai kerangka acuan untuk hidup dan kehidupan, oleh sebab itu ia mengandung nilai yang sangat sempurna, fleksibel, universal, dan dapat diaktualisasikan dimana dan kapan saja Al Qur’an itu ditempatkan .
Ketika Al Qur’an itu berada ditangan orang awam, maka kandungan yang didapatnya hanya sebatas kemampuan orang itu sendiri, akan tetapi ketika al Qur’an berada dalam gemgaman orang yang mepunyai kualitas dan kapasitas keilmuan yang baik, maka ia akan memperkuat dan mem-perbanyak khazanah keilmuan orang yang bersangkutan. Oleh sebab itu, Al Qur’an hanya “bermanfaat” bagi orang yang dapat memahami kandungan dan isinya sedangkan bagi mereka yang tidak mempunyai kualitas ilmu, Al Qur’an hanya sebuah buku yang sementara huruf-hurufnya membuat kita pusing. Inilah yang selama ini kita sebut sebagai mu’jizat Al Qur’an itu. Mu’jizat yang hanya akan bermanfaat kalau orang membaca isi dan mengahayati kandungannya. Dalam kesempatan yang lain, Al Qur’an juga dinamakan dengan al kitab yang berarti sesuatu yang harus menjadi landasan dan kerangka hidup manusia.
Kedua nama Al Qur’an tersebut menurut Adz Dzarraz disebut berulang kali dalam ayat-ayat Al Qur’an. Kata-kata Al Qur’an disebut sebanyak 69 kali, sedangkan kata Al Kitab, dengan kono-tasi penyebutan kepada wahyu yang diturunkan kepada Nabi-nabi lain, disebut sebanyak 160 kali. Dengan demikian, maka dapat diambil satu gambaran betapa pentingnya keberadaan al Qur’an dalam kehidupan manusia; yang mengharuskan kepad kita untuk memposisikan Al Qur’an sebagaimana posisi yang sebenarnya.
Jika dilihat dari perjalanan sejarahnya, maka Al Qur’an diturunkan dalam kurun waktu 22 tahun, 10 bulan dan 22 hari. Yang dimulai pada tanggal 17 Ramadlan tahun 41 (usia Rasul) dan berakhir pada 9 Dzul Hijjah tahun 63 (usia Rasul). Menurut Al Hudlori, dalam kurun waktu se-panjang itu, Al Qur’an dibagi menjadi dua periode masa turunnya, yaitu periode Makiyah dan Madaniyah dengan rentang waktu sebagai berikut :
A. Periode Makkiyah dimulai pada 17 Ramadlan 41 s.d Rabi’ul Awwal 54
B. Periode Madaniyah dimulai pada Rabi’ul Awwal 54 s.d 9 Dzul Hijjah 63.

Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa pembagian menjadi dua periode dengan periode Makkiyah dan Madaniyah tersebut untuk memudahkan pemahaman ayat atau surat dalam Al Qur’an itu sendiri. Penggunnaan periodesasi turunnya Al Qur’an tersebut (Makkiyah/Madaniyah) dapat didekati dengan menggunakan standar sebagai berikut :
A. Waktu (Jaman) artinya ayat Makkiyah diturunkan sebelum Rasulullah Hijrah, se-dangkan ayat Madaniyah diturunkan setelah Rasulullah Hijrah.
B. Tempat (Makan) artinya ayat Makkiyah diturunkan disekitar kota Makkah, sedangkan ayat Madaniyah diturunkan disekitar kota Madinah.
C. Tujuan (Maqasid) artinya ayat Makkiyah diturunkan dengan tujuan/khithab seluruh manusia (An-Nas), sedangkan ayat Madaniyah diturunkan dengan tujuan/khithab orang-orang yang beriman (Amanu).

Disamping pendekatan-pendekatan periodisasi yang sudah sangat populer dikalangan ahli tafsir, juga ditemukan pemikiran lain yang berkaitan dengan masa turunnya Al Qur’an tersebut. Pendekatan tersebut lebih menekankan pada klasifikasi ayat dan tujuan diturunkannya al Qur’an. Prof. Dr. Quraisy Shihab dalam hal mem-bagi periode turunnya Al Qur’an menjadi 3 , yaitu :
A. Periode I (1-4,5 Tahun.)
Periode I dimulai dengan turunnya ayat pada surat Al Alaq (Iqra) sebagai tonggak Kenabian dan Surat Al Mudatsir sebagai pertanda Kerasulan. Pada periode ini ayat Al Qur’an mem-punyai tujuan sebagai berikut :
1. Pendidikan bagi Rasulullah SAW sebagaimana surat Al Mudatsir 1-7 dan surat Al Mujammil 1-4.
2. Memberikan pengetahuan bagi Rasulullah tentang sifat dan perbuatan Allah SWT. Seperti pada surat Al Ihlas.
3. Pengetahuan tentang dasar Allah menurunkan Islam dan bantahan Allah thdp ke-bobrokan hidup Jahiliyah sebagaimana yang dijelaskan pada surat Al Ma’un dan At Takatsur, yang isinya penolakan terhadap kebohongan beragama.

B. Periode II (8/9 Tahun)
Periode ini dikenal sebagai masa yang sangat sulit bagi perkembangan umat Islam, karena menghadapi serangan kaum Kafir. Secara gelobal, pada periode ini Al Qur’an diturunkan dengan tujuan :
1. Menggambarkan masa pergulatan antara umat Islam dan orang Kafir.
2. Menjelaskan prinsip-prinsip Islam dalam hal ini ketauhidan, misalnya prinsip dakwah dengan kebijaksanaan dll.
3. Kecaman terhadap orang Kafir dan Fasik.
4. Menjelaskan ayat-ayat argumentatif terutama yang berkaitan dengan Tauhid, hari ke-bangkitan dll.

C. Periode III (10 Tahun)
Periode ini merupakan periode pengembangan struktur dan model masyarakat Islam. Ayat yang diturunkan bertujuan untuk :
1. Menjelaskan prinsip hidup sosial menurut Islam.
2. Menjelaskan pandangan Islam terhadap orang Munafik, Kafir dan Ahli Kitab.
3. Menjelaskan perintah atau larangan yang sangat tegas tetapi tetap rasional misalnya berkaitan dengan Khamar dll.
4. Menjelaskan proses dakwah terhadap orang Munafik, Musyrik dll. Sebagaimana yang dijelaskan pada surat Ali Imron ayat 64.
Jika kita perhatikan secara sepintas akan nampak adanya perbedaan antara periodisasi turunnya Al Qur’an menurut Al Hudlori dengan apa yang dikemukakan oleh Quraisy, namun demikian se-benarnya tidak terdapat perbedaan pemikiran; yang ada hanya melakukan usaha pemisahan dengan pendekatan tujuan ayat tersebut dijelaskan. Lebih lanjut apa yang dikemukakan oleh Quraisy Shihab pada periode I dan II merupakan kejadian yang terkandung pada periode Makkiyah , sedangkan periode Madaniyah tergambar pada periode III.
Perjalan sejarah sebagaimana tersebut memunculkan belbagai ragam disiplin ilmu yang menarik – termasuk didalamnya menarik kepada ahli ketimuran (orientalis) untuk mengkritisi, mengevaluasi dan bahkan menentang kebenaranya. Dalam perspektif sejarah - sebagaimana yang dikemukakan oleh M. Husain Ath Thabathabaiy, bahwa perjalanan Al Qur’an dalam rentang sejarah sangat transparan dan dapat dibaca oleh siapapun, sehingga setiap orang dapat memberikan pandangan dan pemikiran terhadap keberadaan sejarah Al Qur’an, terutama kebenaran dan keaslian Al Qur’an yang tidak dapat diragukan lagi.
Al Qur'an sendiri tidak menutup kemungkinan terjadinya kritik terhadap kebenarannya. Ia sendiri sengaja menghadirkan ayat-ayat yang mengajakl orang untuk membuktikan kebenarannya baik dilihat dari perspektif kandungan dan subtansi ayat-ayatnya, juga perjalanan sejarah dari Al Qur'an itu sendiri sebagaimana tersebut dalam Qs. Al Baqarah : 23-24

ru)Îb ùs'ù?èq#( ãt7öÏRt$ ãt?n4 Rt9øZu$ BiÏJ£$ uƒ÷=5 ûÎ 2àZFçNö )Îc #$!« ŠßrbÈ BiÏ` ©ägyy#!äu.äN ru#$Š÷ããq#( BiÏV÷#Î&Ͼ BiÏ` /ΡÝquo; ?sÿøèy=èq#( ru9s` ?sÿøèy=èq#( 9©Nö ùs*Îb ÈÌËÇ ¹|»Ï%Ïüût .äZFçNö ( ru#$9øsÅfy$uoä #$9Z$â ru%èqŠßdy$ #$9©LÉÓ #$9Z$u ùs$$?)àq#( ÈÍËÇ 9Ï=ù3s»ÿύÌïût &éãÏ£Nô

II. PENULISAN AL QUR'AN PADA MASA RASULULLAH
Pada masa ketika Rasulullah SAW masih hidup, terdapat beberapa orang yang ditunjuk untuk menuliskan Al Qur'an yakni Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Talib, Muawiyah bin Abu Sufyan dan Ubay bin Kaab. Sahabat yang lain juga kerap menuliskan wahyu tersebut walau tidak diperintahkan. Media penulisan yang digunakan saat itu berupa pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana, potongan tulang belulang binatang. Di samping itu banyak juga sahabat-sahabat langsung menghafalkan ayat-ayat Al-Qur'an setelah wahyu diturunkan
Pada permulaan Islam, kebanyakan orang bangsa Arab Islam adalah bangsa yang buta huruf, sangat sedikit di antara mereka yang tahu menulis dan membaca. Mereka belum mengenal kertas seperti kertas yang ada sekarang. Perkataan “al waraq” (daun) yang digunakan dalam mengatakan kertas pada masa itu hanyalah pada daun kayu saja. Kata “al qirthas” digunakan oleh mereka hanya merujuk kepada benda-benda (bahan-bahan) yang mereka pergunakan untuk ditulis seperti kulit binatang, batu yang tipis dan licin, pelepah tamar/kurma, tulang binatang dan sebagainya.
Setelah mereka menaklukkan negeri Persia, yaitu sesudah wafatnya Rasulullah SAW barulah mereka mengenal kertas. Orang Persia menamakan kertas itu sebagai “kaqhid”. Maka digunakan kata itu untuk kertas oleh bangsa Arab Islam semenjak itu. Sebelum Rasulullah atau semasa zaman Rasulullah kata “kaqhid” itu tidak ada digunakan di dalam bahasa Arab, atau pun dalam hadis-hadis Nabi. Kemudian kata “al qirthas” digunakan pula oleh bangsa Arab Islam ini kepada apa yang dinamakan “kaqhid” dalam bahasa Persia itu. Kitab atau buku tentang apapun juga belum ada pada mereka. Kata-kata “kitab” di masa itu hanyalah bermaksud dalam bentuk seperti sepotong kulit, batu atau tulang dan sebagainya. Begitu juga dalam arti kata surat seperti pada ayat 28 dari surah An Naml di bawah ini.
ƒtö_Åèãqbt Bt$Œs# ùs$$Ràݍö ãt]÷kåNö ?squA¤ OèN§ )Î9sŽökÍNö ùs'r9ø)Ém÷ dy»x# /nÎ3ÅFt»<ÉÓ #$Œødy= ÈÑËÇ
Artinya :“Pergilah dengan surat saya ini, maka jatuhkanlah dia kepada mereka..”

Begitu juga “kutub” (jama kitab) yang dikirimkan oleh Rasulullah SAW kepada raja-raja di masanya untuk menyeru mereka kepada Islam.
Walaupun kebanyakkan bangsa Arab Islam pada masa itu masih buta huruf, namun mereka mempunyai ingatan yang sangat kuat. Pegangan mereka dalam memelihara dan meriwayatkan syair-syair dari pujangga-pujangga dan penyair-penyair mereka, ansab (silsilah keturunan) mereka, peperangan-peperangan yang terjadi di antara mereka, peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam masyarakat dan kehidupan mereka tiap hari dan lain-lain sebagainya, adalah kepada hafalan semata-mata. Demikianlah keadaan bangsa Arab di waktu kedatangan Islam itu. Maka dijalankan oleh Rasulullah SAW suatu cara yang amali (praktis) yang selaras dengan keadaan itu dalam menyiarkan Al Quran dan memeliharanya. Tiap-tiap diturunkan ayat-ayat itu, Rasulullah SAW menyuruh menghafalnya dan menuliskannya di batu, kulit binatang, pelepah tamar dan apa saja yang bisa disusun dalam sesuatu surat. Rasulullah menerangkan tertib urut ayat-ayat itu. Rasulullah mengadakan peraturan, yaitu Al Quran sajalah yang boleh dituliskan. Selain daripada Al Quran, Hadis-hadis atau pelajaran-pelajaran yang mereka dengar dari mulut Rasulullah SAW dilarang menuliskannya. Larangan ini bermaksud supaya Al Quran itu terpelihara, jangan campur aduk dengan yang lain-lain yang juga didengar dari Rasulullah .
Nabi menganjurkan supaya Al Quran itu dihafal, selalu dibaca dan diwajibkannya membacanya dalam solat. Maka dengan itu banyaklah orang yang hafal Al Quran. Surah yang satu dihafal oleh ribuan manusia dan banyak yang hafal seluruh Al Quran. Dalam pada itu tidak ada satu ayatpun yang tidak dituliskan. Kepandaian menulis dan membaca itu amat dihargai dan dianjurkan oleh Rasulullah sehingga baginda bersabda, “Di akhirat nanti tinta ulama-ulama itu akan ditimbang dengan darah syuhada (orang-orang yang mati syahid)” Hal ini menunjukkan bahwa Rasulullah ridho akan penulisan selain Al-Qur’an setelah Rasulullah wafat. Maka tidaklah mengapa penulisan Hadits, ilmu fiqih, dan penulisan ilmu-ilmu lainnya setelah Rasulullah SAW wafat.
Dalam peperangan Badar, orang-orang musyrikin yang ditawan oleh orang-orang Islam, yang tidak mampu menebus dirinya dengan uang, tetapi mempunyai pengetahuan dalam menulis dan membaca, masing-masing diharuskan mengajar sepuluh orang Muslim agar dapat menulis dan membaca sebagai ganti tebusan. Di dalam Al Quran pun banyak ayat-ayat yang mengutarakan penghargaan yang tinggi terhadap huruf, pena dan tulisan. Contohnya seperti ayat di bawah :
ÈÊÇ o¡óÜäãrbt ruBt$ ru#$9ø)s=nOÉ 4 cú
ِArtinya : "Nun, demi pena dan apa yang mereka tuliskan.” (QS. Al-Qalam: 1)

ÈÌÇ #${F.øtPã ruu/š7y #$%øt&ù ÈÍÇ /Î$$9ø)s=nOÉ æt=¯Oz #$!©%Ï ÈÎÇ ƒtè÷>sL÷ 9sOó Bt$ #$}MS¡|»`z æt=¯Oz
ِArtinya : "Bacalah, dan Tuhanmu amat mulia. Yang telah mengajar dengan pena. Dia telah mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-’Alaq: 3, 4 dan 5)

Karena itu bertambahlah keinginan untuk belajar menulis dan membaca di kalangan orang-orang muslim, dan semakin bertambah banyaklah di antara mereka yang pandai menulis dan membaca dan semakin banyaklah orang yang menuliskan ayat-ayat yang telah diturunkan itu. Rasulullah sendiri mempunyai beberapa orang penulis yang bertugas menuliskan Al Quran untuk baginda. Penulis-penulis Rasulullah yang terkenal ialah Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit dan Mu’awiyah. Shahabat yang terbanyak menuliskannya ialah Zaid bin Tsabit.
Dengan demikian, di zaman Rasulullah, terdapat 3 unsur yang tolong-menolong memelihara Al Quran yang telah diturunkan itu:
A. Hafalan dari mereka yang hafal Al-Quran.
B. Naskah-naskah Al-Qur’an yang ditulis atas perintah Rasulullah.
C. Naskah-naskah yang ditulis oleh mereka yang pandai menulis dan membaca untuk mereka masing-masing .

Dalam pada itu, oleh Jibril diadakan ulangan bacaan sekali setahun. Di dalam ulangan bacaan itu, Rasulullah disuruh mengulang memperdengarkan Al Quran yang telah diturunkan itu. Di tahun baginda wafat, ulangan bacaan itu diadakan oleh Jibril dua kali. Rasulullah sendiri pun sering pula mengadakan ulangan bacaan itu terhadap sahabat-sahabatnya. Maka sahabat-sahabat itu disuruh oleh Rasulullah membacakan atau memperdengarkan Al Quran itu di hadapannya. Ini untuk menetapkan atau memperbetulkan hafalan atau bacaan mereka.
Syaikh Muhammad Shalih al Utsaimin dalam contentnya meemberikan penjelasan bahwa pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terutama pada aspek penyandaran pada hafalan lebih banyak daripada penyandaran pada tulisan karena hafalan para Sahabat Radhiyallahu ‘anhum sangat kuat dan cepat di samping sedikitnya orang yang bisa baca tulis dan sarananya. Oleh karena itu siapa saja dari kalangan mereka yang mendengar satu ayat, dia akan langsung menghafalnya atau menuliskannya dengan sarana seadanya di pelepah kurma, potongan kulit, permukaan batu cadas atau tulang belikat unta. Jumlah para penghapal Al-Qur’an sangat banyak .
Dalam kitab Shahih Bukhari [1] dari Anas Ibn Malik Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus tujuh puluh orang yang disebut Al-Qurra’. Mereka dihadang dan dibunuh oleh penduduk dua desa dari suku Bani Sulaim ; Ri’l dan Dzakwan di dekat sumur Ma’unah. Namun di kalangan para sahabat selain mereka masih banyak para penghapal Al-Qur’an, seperti Khulafaur Rasyidin, Abdullah Ibn Mas’ud, Salim bekas budak Abu Hudzaifah, Ubay Ibn Ka’ab, Mu’adz Ibn Jabal, Zaid Ibn Tsabit dan Abu Darda Radhiyallahu ‘anhum .
Ketika Rasulullah wafat, Al Quran itu telah sempurna diturunkan dan telah dihafal oleh ribuan manusia, dan telah dituliskan semua ayat-ayatnya. Ayat-ayat dan surah-surahnya telah disusun menurut tertib urut yang dipertunjukkan sendiri oleh Rasulullah SAW. Mereka telah mendengar Al Quran itu dari mulut Rasulullah berkali-kali, dalam solat, dalam pidato-pidato baginda, dalam pelajaran-pelajaran dan lain-lain, sebagaimana Rasulullah SAW sendiri telah mendengar pula dari mereka. Dalam makna lain, Al Quran adalah dijaga dan terpelihara dengan baik, dan Rasulullah telah mengadakan satu kaidah yang amat praktis untuk memelihara dan menyiarkan Al Quran itu, sesuai dengan keadaan bangsa Arab Islam ketika itu.
Tradisi menghafal Al Qur'an memang menjadi salah satu sarana memelihara otentitas Al Qur'an. Hal tersebut sangt mungkin terjadi karena pembacaan al Qur'an merupakan salah satu sunnah muakad dalam setiap ibadah Sholat – proses pembacaan tersebut menjadi lebih muda dilakukan jika seseorang mampu menghafalnya, sehingga sadar atau tidak sadar tradisi menghafal al Qur'an menjadi trend umat Islam sejak zaman Rasulullah SAW sampai sekarang. Ketika terjadi perang antara umat Islam dan bangsa Romawi di masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar – sebagian besar pahlawan muslim yang gugur adalah pengafal al Qur'an.
Sungguhpun demikian terjadi pula proses dokumentasi yang lain yang berjalan secara sistematis dan terus menerus yang dilakukan oleh para Shahabat yang memiliki kemampuan untuk menulis – bahkan proses penulisan merupakan gagasan dari Rasulullah SAW. Dalam perspektif ini muncul beberapa pertanyaan yaitu Siapa yang Melakukan, Mengapa dan Bagaimana proses al-Qur'an itu menjadi suatu Mushaf ? Siapa yang menuliskan dan bagaimana bisa tersusun seperti yang ada saat ini ?
Rasullullah SAW telah mengangkat para penulis wahyu Al-Qur'an dari sahabat-sahabat terkemuka, seperti Ali bin Abi thalib ra, Muawiyah ra, 'Ubai bin K'ab ra. dan Zaid bin Tsabit ra. Setiap ada ayat turun, Rasulullah memerintahkan mereka menulisnya dan menunjukkan tempat ayat tersebut dalam surah, sehingga penulisan pada lembar itu membantu penghafalan didalam hati .
Disamping itu sebagian sahabat juga menuliskan Al-Qur'an yang turun itu atas kemauan mereka sendiri, tanpa diperintah oleh Rasulullah SAW. Mereka menuliskannya pada pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana, potongan tulang belulang binatang. Zaid bin Sabit ra. berkata,"Kami menyusun al-Qur'an dihadapan Rasulullah SAW pada kulit binatang." Ini menunjuk-kan betapa besar kesulitan yang dipikul para sahabat dalam menulis al Qur'an. Alat-alat tulis tidak cukup tersedia bagi mereka, selain sarana-sarana tersebut. Dan dengan demikian, penulisan Qur'an ini semakin menambah hafalan mereka .
Selain itu malaikat Jibril as membacakan kembali ayat demi ayat Al-Qur'an kepada Rasulullah SAW pada malam-malam bulan Ramadan pada setiap tahunnya. Abdullah bin Abbas ra. berkata, "Rasulullah SAW adalah orang paling pemurah dan puncak kemurahan pada bulan Ramadan, ketika ia ditemui oleh malaikat Jibril as. Rasulullah SAW ditemui oleh malaikat Jibril as setiap malam, dimana Jibril membacakan Al-Qur'an kepada Rasulullah , dan ketika itu Rasulullah SAW sangat pemurah sekali."
Para sahabat senantiasa menyodorkan Al-Qur'an kepada Rasulullah SAW baik dalam bentuk hafalan maupun tulisan. Tulisan-tulisan Al-Qur'an pada masa Nabi tidak terkumpul dalam satu mushaf, yang ada pada seseorang belum tentu dimiliki orang lain. Para ulama telah menyampaikan bahwa segolongan dari mereka, diantaranya Ali bin Abi Thalib ra, Muaz bin Jabal ra, Ubai bin Ka'ab ra, Zaid bin Sabit ra. dan Abdullah bin Mas'ud ra. telah menghafalkan seluruh isi Al-Qur'an dimasa Rasulullah. Dan mereka menyebutkan pula bahwa Zaid bin Sabit ra. adalah orang yang terakhir kali membacakan Al-Qur'an dihadapan Rasulullah SAW.
Kemudian Rasulullah SAW berpulang ke rahmatullah disaat Al-Qur'an telah dihafal oleh ribuan para shahabat dan tertulis dalam mushaf dengan susunan seperti disebutkan diatas. Tiap ayat-ayat dan surah-surah dipisah-pisahkan, atau diterbitkan ayat-ayatnya saja dan setiap surah berada dalam satu lembar secara terpisah dalam tujuh huruf. Tetapi memang benar bahwa Al-Qur'an belum lagi dijilid dalam satu mushaf yang menyeluruh. Sebab Rasulullah SAW masih selalu menanti turunnya wahyu dari waktu ke waktu. Disamping itu terkadang pula terdapat ayat yang menasahh (menghapuskan) sesuatu yang turun sebelumnya.
Susunan atau tertib penulisan Al-Qur'an itu tidak menurut tertib turunnya, tetapi setiap ayat yang turun dituliskan di tempat penulisan sesuai dengan petunjuk Rasulullah SAW. Rasulullah sendiri yang menjelaskan bahwa ayat anu harus diletakkan dalam surah anu. Andaikata (pada masa Nabi) Qur'an itu seluruhnya dikumpulkan diantara dua cover sampul dalam satu mushaf, hal yang demikian tentu akan membawa perubahan bila wahyu turun lagi .
Az-Zarkasyi berkata, "Al-Qur'an tidak dituliskan dalam satu mushaf pada zaman Nabi agar ia tidak berubah pada setiap waktu. Oleh sebab itu, penulisannya dilakukan kemudian sesudah Qur'an turun semua, yaitu dengan wafatnya Rasulullah." Dengan pengertian inilah ditafsirkan apa yang diriwayatkan dari Zaid bin Sabit ra. yang mengatakan,"Rasulullah SAW telah wafat sedang Al-Qur'an belum dikumpulkan sama sekali." Maksudnya ayat-ayat dalam surah-surahnya belum dikumpulkan secara tertib dalam satu mushaf .
Dalam beberapa konteks pengumpulan Al Qur'an pada masa Rasulullah SAW juga ditemukan riwayat atau teks yang menjelaskan bahwa pada masa Rasulullah juga terjadi proses pengumpulan Al Qur'an untuk melengkapi proses penulisan yang dilakukan oleh para Shahabat. Proses dan hasil pengumpulan tersebut memang tidak sesumpurna sebagaimana yang proses dan hasil pengumpulan yang dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar Ash Shiedieq dan Khalifah Utsman bin Affan.
Al Hakim meriwayatkan sebuah hadits dengan sanad yang sesuai dengan kreteria Buchari-Muslim dari Zaid bin Tsabit ra – Ia berkata :"Adalah kami dahulu ketika berada dihadapan Rasulullah SAW, sedang mengumpulkan al Qur'an dari keadaan terserak … (Al Hadits). Al Baihaqi menjelaskan bahwa maksud dari perkataan tersebut adalah hampir sama dengan mengumpulkan ayat-ayat yang bercerai berai dari surat-suratnya, dan pengumpulan ini dengan isyarat dari Rasulullah SAW
Dengan demikian tradisi penulisan Al qur'an telah beralngsung sejak zaman Rasulullah walaupun tulisan tersebut tidak dikumpulkan dalam satu naskah. Dalam hal ini Al Katabi berkata,"Rasulullah SAW tidak mengumpulkan Qur'an dalam satu mushaf itu karena ia senantiasa menunggu ayat nasikh terhadap sebagian hukum-hukum atau bacaannya. Sesudah berakhir masa turunnya dengan wafatnya Rasululah, maka Allah mengilhamkan penulisan mushaf secara lengkap kepada para Khulafaurrasyidin sesuai dengan janjinya yang benar kepada umat ini tentang jaminan pemeliharaannya. Dan hal ini terjadi pertama kalinya pada masa Abu Bakar ra. atas pertimbangan usulan Umar ra."
Memang dalam proses pengumpulan atau pembukuan Al Qur'an pada masa Khalifah Abu Bakar Ash Shieddiq terjadi tawaran pemikiran dan adu argumentasi dikalangan shahabat terutama untuk merespon usulan pengumpulan dari Umar bin Khattab. Hal tersebut nampak jelas dalam perkataan Abu Bakar yang disampaikan kepada Zaid bin Tsabit, ketika Abu Bakar meminta kepada Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan ayat-ayat Al Qur'an yang berserakan kedalam kumpulan Al Qur'an yang baku dan sistematis sesuai dengan petunjuk dari Rasulullah SAW.

III. PENULISAN DAN PEMBUKUAN AL QUR'AN PADA MASA SHAHABAT
A. MASA KHULAFAUR RASYIDIN
1. Khalifah Abu Bakar Ash Shiedieq
Pada masa kekhalifahan Abu Bakar, terjadi beberapa pertempuran (dalam perang yang dikenal dengan nama perang Ridda atau juga dikenal dengan pertempuran Yamamah) yang mengakibatkan tewasnya beberapa penghafal Al-Qur'an dalam jumlah yang signifikan. Umar bin Khattab]yang saat itu merasa sangat khawatir akan keadaan tersebut lantas meminta kepada Abu Bakar untuk mengumpulkan seluruh tulisan Al-Qur'an yang saat itu tersebar di antara para Sahabat Nabi|sahabat. Abu Bakar lantas memerintahkan Zaid bin Tsabit sebagai koordinator pelaksaan tugas tersebut. Setelah pekerjaan tersebut selesai dan Al-Qur'an tersusun secara rapi dalam satu mushaf, hasilnya diserahkan kepada Abu Bakar. Abu Bakar menyimpan mushaf tersebut hingga wafatnya kemudian mushaf tersebut berpindah kepada Umar sebagai khalifah penerusnya, selanjutnya mushaf dipegang oleh anaknya yakni Hafsah yang juga istri Rasulullah SAW. Zaid bin Tsabit yang ditunjuk sebagai coordinator pengumpulan Al Qur'an mengingat karena Zaid dikenal sebagai sekretaris Rasulullah SAW dan memiliki kemampuan diatas rata-rata Shahabat dalam hal penulisan dan dokumentasi Al Qur'an.
Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu sebagai khalifah memerintahkan untuk mengumpulkan Al-Qur’an agar tidak hilang. Dalam kitab Shahih Bukahri disebutkan, bahwa Umar Ibn Khaththab mengemukakan pandangan tersebut kepada Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu setelah selesainya perang Yamamah. Abu Bakar tidak mau melakukannya karena takut dosa, sehingga Umar terus-menerus mengemukakan pandangannya sampai Allah Subhanahu wa Ta’ala membukakan pintu hati Abu Bakar untuk hal itu, dia lalu memanggil Zaid Ibn Tsabit Radhiyallahu ‘anhu, di samping Abu Bakar berdiri Umar, Abu Bakar mengatakan kepada Zaid : “Sesunguhnya engkau adalah seorang yang masih muda dan berakal cemrerlang, kami tidak meragukannmu, engkau dulu pernah menulis wahyu untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sekarang carilah Al-Qur’an dan kumpulkanlah!”, Zaid berkata : “Maka akupun mencari dan mengumpulkan Al-Qur’an dari pelepah kurma, permukaan batu cadas dan dari hafalan orang-orang. Mushaf tersebut berada di tangan Abu Bakar hingga dia wafat, kemudian dipegang oleh Umar hingga wafatnya, dan kemudian di pegang oleh Hafsah Binti Umar Ra (diriwayatkan Bukhari secara panjang lebar) .
Kaum muslimin saat itu seluruhnya sepakat dengan apa yang dilakukan oleh Abu Bakar, mereka menganggap perbuatannya itu sebagai nilai positif dan keutamaan bagi Abu Bakar, sampai Ali Ibn Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu mengatakan : “Orang yang paling besar pahalanya pada mushaf Al-Qur’an adalah Abu Bakar, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi rahmat kepada Abu Bakar karena, dialah orang yang pertama kali mengumpulkan Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Pengumpulan Al Qur'an pada masa Abu Bakar – Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits bahwa Zaid bin Tsabit berkata : "Abu Bakar mendatangiku saat berkecamuknya perang Yamamah, maka berkatalah Abu Bakar kepadaku : Umar telah dating kepadaku dan berkata : Sesungguhnya perang ini telah menewaskan banyak Shahabat yang hafal al Qur'an, saya sangat takut, jika mereka banyak yang meninggal, maka al Qur'an ini akan banyak yang hilang bersamaan dengan kematian mereka, saya menyaran-kanmu untuk memerintahkan beberapa orang Shahabat untuk mengumpulkan Al Qur'an ini. Maka saya (Abu Bakar) berkata kepada Umar : Bagaimana kamu menyuruhku melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW ? Umar pun berkata : Demi Allah ini adalah sesuatu perbuatan yang baik, dan Umar senantiasa menyarankan kepada untuk mengumpulkannya sampai Allah SWT melapangkan dadaku dan sayapun setuju dengan sarannya itu .
Kemudian Abu Bakar ra. memerintahkan Zaid bin Sabit ra, mengingat kedudukannya dalam masalah qiraat, kemampuan dalam masalah penulisan, pemahaman dan kecerdasannya, serta kehadirannya pada pembacaan yang terakhir kali.
Zaid ra. berkata lagi,"Abu Bakar berkata kepadaku,"Engkau seorang pemuda yang cerdas dan kami tidak meragukan kemampuanmu. Engkau telah menuliskan wahyu untuk Rasulullah SAW. Oleh karena itu carilah Al-Qur'an dan kumpulkanlah." "Demi Allah", Kata Zaid lebih lanjut", "Sekiranya mereka memintaku untuk memindahkan gunung, rasanya tidak lebih berat bagiku dari pada perintah mengumpulkan Al-Qur'an. Karena itu aku menjawab,"Mengapa anda berdua ingin melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW ?. "
Abu Bakar menjawab,"Demi Allah itu baik." Abu Bakar tetap membujukku sehingga Allah membukakan hatiku sebagaimana ia telah membukakan hati Abu Bakar ra. dan Umar ra. Maka aku pun mulai mencari Al-Qur'an. Kukumpulkan ia dari pelepah kurma, dari keping-kepingan batu dan dari hafalan para penghafal, sampai akhirnya aku mendapatkan akhir surah At-Taubah berada pada Abu Huzaimah Al-Anshari, yang tidak kudapatkan pada orang lain, yang berbunyi Sesungguhya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri... hingga akhir surah .
Zaid ra. melalui tugasnya yang berat ini dengan bersandar pada hafalan yang ada dalam hati para qari' dan catatan yang ada pada para penulis. Lembaran-lembaran (hasil kerjaku) tersebut kemudian disimpan ditangan Abu Bakar ra. hingga wafatnya. Sesudah itu berpindah ke tangan Umar ra. sewaktu masih hidup dan selanjutnya berada di tangan Hafsah binti Umar ra.
Zaid bin Sabit ra. bertindak sangat teliti dan hati-hati. Ia tidak mencukupkan pada hafalan semata tanpa disertai dengan tulisan. Kata-kata Zaid dalam keterangan di atas,"Dan aku dapatkan akhir surah At-Taubah pada Abu Khuzaimah Al-Anshari yang tidak aku dapatkan pada orang lain", tidaklah menghilangkan arti keberhati-hatian tersebut dan tidak pula berari bahwa akhir surah At-Taubah itu tidak mutawatir. Tetapi yang dimaksud ialah bahwa ia tidak mendapat akhir surah Taubah tersebut dalam keadaan tertulis selain pada Abu Khuzaimah. Sedangkan Zaid sendiri hafal dan demikian pula banyak diantara para sahabat yang menghafalnya.
Perkataan itu lahir karena Zaid berpegang pada hafalan dan tulisan, jadi akhir surah Taubah itu telah dihafal oleh banyak sahabat. Dan mereka menyaksikan ayat tersebut dicatat. Tetapi catatannya hanya terdapat pada Abu Khuzaimah al-Ansari.
Ibn Abu Daud meriwayatkan melalui Yahya bin Abdurrahman bin Hatib, yang mengatakan,"Umar datang lalu berkata, "Barang siapa menerima dari Rasulullah SAW sesuatu dari Al-Qur'an, hendaklah ia menyampakannya."
Mereka menuliskan Al-Qur'an itu pada lembaran kertas, papan kayu dan pelepah kurma. Dan Zaid ra. tidak mau menerima dari seseorang sebelum disaksikan oleh dua orang saksi. Ini menunjukkan bahwa Zaid ra. tidak merasa puas hanya dengan adanya tulisan semata sebelum tulisan itu disaksikan oleh orang yang menerimanya secara pendengaran langsung dari Rasulullah SAW, sekalipun Zaid ra. sendiri hafal. Rasulullah bersikap demikian ini karena sangat berhati-hati.
Dan diriwayatkan pula oleh Ibn Abu Daud melalui Hisyam bin Urwah, dari ayahnya, bahwa Abu Bakar berkata pada Umar dan Zaid, "Duduklah kamu berdua di pintu masjid. Bila ada yang datang kepadamu membawa dua orang saksi atas sesuatu dari kitab Allah, maka tulislah." Para perawi hadis ini orang-orang terpercaya, sekalipun hadits tersebut munqati (terputus). Ibn Hajar mengatakan, "Yang dimaksudkan dengan dua orang saksi adalah hafalan dan catatan" .
As-Sakhawi menyebutkan dalam kitab Jamalul Qurra', yang dimak-sudkan ialah kedua saksi itu menyaksikan bahwa catatan itu ditulis dihadapan Rasulullah. Atau dua orang saksi itu menyaksikan bahwa catatan tadi sesuai dengan salah satu cara yang dengan itu Al-Qur'an diturunkan.
Abu Syamah berkata, "Maksud mereka adalah agar Zaid tidak me-nuliskan Al-Qur'an kecuali diambil dari sumber asli yang dicatat dihadapan Nabi, bukan semata-mata dari hafalan. Oleh sebab itu Zaid berkata tentang akhir surah At-Taubah, "Aku tidak mendapatkannya pada orang lain", sebab ia tidak menganggap cukup hanya didasarkan pada hafalan tanpa adanya catatan .
Kita sudah mengetahui bahwa Qur'an sudah tercatat sebelum masa itu, yaitu pada masa Nabi. Tetapi masih berserakan pada kulit-kulit, tulang dan pelepah kurma. Kemudian Abu Bakar memerintahkan agar catatan-catatan tersebut dikumpulkan dalam satu mushaf, dengan ayat-ayat dan surah-surah yang tersusun serta dituliskan dengan sangat berhati-hati dan mencakup tujuh huruf yang dengan itu Qur'an diturunkan. Dengan demikian Abu Bakar adalah orang pertama yang mengumpulkan Al-Qur'an dalam satu mushaf dengan cara seperti ini, disamping terdapat pula mushaf-mushaf pribadi pada sebagian sahabat, seperti mushaf Ali ra, Ubai dan Ibn Mas'ud ra. Tetapi mushaf-mushaf itu tidak ditulis dengan cara-cara diatas dan tidak pula dikerjakan dengan penuh ketelitian dan kecermatan. Juga tidak dihimpun secara tertib yang hanya memuat ayat-ayat yang bacaannya tidak dimansuk dan secara ijma' sebagaimana mushaf Abu Bakar.
Keistimewaan-keistimewaan ini hanya ada pada himpunan Al-Qur'an yang dikerjakan Abu Bakar. Para ulama berpendapat bahwa penamaan Al-Qur'an dengan 'mushaf' itu baru muncul sejak saat itu, yaitu saat Abu Bakar mengumpulkan Al-Qur'an. Ali ra. berkata, "Orang yang paling besar pahalanya dalam hal mushaf ialah Abu Bakar ra. Semoga Allah melimpah-kan rahmat-Nya kepada Abu Bakar ra. Dialah orang yang pertama mengumpulkan kitab Allah.
Berdasarkan riwayat tersebut diatas, maka proses pengumpulan Al Qur'an pada Abu Bakar adalah untuk menyatukan dari belbagai manuskrip Al Qur'an yang dimiliki oleh para Shahabat menjadi satu kesatuan yang kemudian pada masa Utsman menjadi dasar penulisan ulang atau penggandaan AL Qur'an yang kemudian disebarkan keseluruh wilayah pemerintahan umat Islam. Dapat dipahami pula bahwa proses pengumpulan Al Qur'an pada masa Abu Bakar belum menyentuh pada aspek-aspek yang pada masa berikutnya menjadi sangat penting bagi umat Islam, yaitu :
a. Tata bacaan atau yang kemudian disebut sebagai "Qiraat".
b. Tata urutan surat-surat dimana para shahabat menyepakatinya sebagai sesuatu yang tauqifi.
c. Tanda baca dan bentuk huruf dalam tulisan Al Qur'an – karena tanda baca huruf Arab terutama dalam Al Qur'an baru disempurnakan pada masa pemerintahan Bani Umaiyah oleh seorang ahli tata bahasa yang bernama Abu Aswad Ad-Duali.

2. Khalifah Utsman bin Affan
Pada masa pemerintahan khalifah ke-3 yakni Utsman bin Affan, terdapat keragaman dalam cara pembacaan Al-Qur'an (qira'at) yang disebabkan oleh adanya perbedaan dialek] (lahjah) antar suku yang berasal dari daerah berbeda-beda. Hal ini menimbulkan kekhawatiran Utsman sehingga ia mengambil kebijakan untuk membuat sebuah mushaf standar (menyalin mushaf yang dipegang Hafsah) yang ditulis dengan sebuah jenis penulisan yang baku. Standar tersebut, yang kemudian dikenal dengan istilah cara penulisan (rasam) Utsmani yang digunakan hingga saat ini. Bersamaan dengan standarisasi ini, seluruh mushaf yang berbeda dengan standar yang dihasilkan diperintahkan untuk dimusnahkan (dibakar). Dengan proses ini Utsman berhasil mencegah bahaya laten terjadinya perselisihan di antara umat Islam di masa depan dalam penulisan dan pembacaan Al-Qur'an.
Secara umum latar belakang penulisan dan penggandaan Al Qur'an pada masa Khalifah Utsman pada tahun 25 H, lebih banyak dipengaruhi oleh adanya perbedaan kaum muslimin pada dialek bacaan Al-Qur’an sesuai dengan perbedaan mushaf-mushaf yang berada di tangan para sahabat Radhiyallahu ‘anhum. Hal itu dikhawatirkan akan menjadi fitnah, maka Utsman Radhiyallahu ‘anhu memerintahkan untuk mengumpulkan mushaf-mushaf tersebut menjadi satu mushaf sehingga kaum muslimin tidak berbeda bacaannya kemudian bertengkar pada Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala dan akhirnya berpecah belah.
Penyebaran Islam bertambah dan para penghafal Al-Qur'an pun tersebar di berbagai wilayah. Dan penduduk di setiap wilayah itu mem-pelajari qira'at (bacaan) dari qari yang dikirim kepada mereka. Cara-cara pembacaan (qiraat) Qur'an yang mereka bawakan berbeda-beda sejalan dengan perbedaan 'huruf ' yang dengannya Al-Qur'an diturunkan. Apabila mereka berkumpul di suatu pertemuan atau di suatu medan peperangan, sebagian mereka merasa heran dengan adanya perbedaan qiraat ini. Terkadang sebagian mereka merasa puas, karena mengetahui bahwa perbedaan-perbedaan itu semuanya disandarkan kepada Rasulullah.
Tetapi keadaan demikian bukan berarti tidak akan menyusupkan keraguan kepada generasi baru yang tidak melihat Rasulullah sehingga terjadi pembicaraan bacaan mana yang baku dan mana yang lebih baku. Dan pada gilirannya akan menimbulkan saling bertentangan bila terus tersiar. Bahkan akan menimbulkan permusuhan dan perbuatan dosa. Fitnah yang demikian ini harus segera diselesaikan.
Ketika terjadi perang Armenia dan Azarbaijan dengan penduduk Iraq, diantara orang yang ikut menyerbu kedua tempat itu ialah Huzaifah bin al-Yaman ra. Rasulullah banyak melihat perbedaan dalam cara-cara membaca Al-Qur'an. Sebagian bacaan itu bercampur dengan kesalahan, tetapi masing-masing mempertahankan dan berpegang pada bacaannya, serta menentang setiap orang yang menyalahi bacaannya dan bahkan mereka saling mengkafirkan. Melihat kenyataan demikian Huzaifah segara menghadap Usman dan melaporkan kepadanya apa yang telah dilihatnya. Usman juga memberitahukan kepada Huzaifah ra. bahwa sebagian perbedaan itu pun akan terjadi pada orang-orang yang mengajarkan qiraat pada anak-anak. Anak-anak itu akan tumbuh, sedang diantara mereka terdapat perbedaan dalam qiraat. Para sahabat amat memprihatinkan kenyataan ini karena takut kalau-kalau perbedaan itu akan menimbulkan penyimpangan dan perubahan. Mereka bersepakat untuk menyalin lembaran-lembaran yang pertama yang ada pada Abu Bakar dan menyatukan umat islam pada lembaran-lembaran itu dengan bacaan tetap pada satu huruf .
Dalam kitab Shahih Bukhari disebutkan, bahwasanya Hudzaifah Ibnu Yaman Radhiyallahu ‘anhu datang menghadap Utsman Ibn Affan Radhiyallahu ‘anhu dari perang pembebasan Armenia dan Azerbaijan. Dia khawatir melihat perbedaaan mereka pada dialek bacaan Al-Qur’an, dia katakan : “Wahai Amirul Mukminin, selamtakanlah umat ini sebelum mereka berpecah belah pada Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti perpecahan kaum Yahudi dan Nasrani!” Utsman lalu mengutus seseorang kepada Hafsah Radhiyallahu ‘anhuma : “Kirimkan kepada kami mushaf yang engkau pegang agar kami gantikan mushaf-mushaf yang ada dengannya kemudian akan kami kembalikan kepadamu!”, Hafshah lalu mengirimkan mushaf tersebut .
Mengutip hadist riwayat Abu Dawud - Ibnu Abi Dawud dalam ''Al-Mashahif'', dengan sanad yang shahih mengatakan bahwa : ''Suwaid bin Ghaflah berkata, "Ali mengatakan: Katakanlah segala yang baik tentang Utsman. Demi Allah, apa yang telah dilakukannya mengenai mushaf-mushaf Al Qur'an sudah atas persetujuan kami. Utsman berkata, 'Bagaimana pendapatmu tentang isu qira'at ini? Saya mendapat berita bahwa sebagian mereka mengatakan bahwa qira'atnya lebih baik dari qira'at orang lain. Ini hampir menjadi suatu kekufuran'. Kami berkata, 'Bagaimana pendapatmu?' Ia menjawab, 'Aku berpendapat agar umat bersatu pada satu mushaf, sehingga tidak terjadi lagi perpecahan dan perselisihan.' Kami berkata, 'Pendapatmu sangat baik".
Demikianlah selanjutnya Utsman mengirim utusan kepada Hafsah untuk meminjam mushaf Abu Bakar yang ada padanya. Lalu Utsman memanggil Zaid bin Tsabit Al-Anshari dan tiga orang Quraish, yaitu Abdullah bin Az-Zubair, Said bin Al-Ash dan Abdurrahman bin Al-Harits bin Hisyam. Ia memerintahkan mereka agar menyalin dan memperbanyak mushaf, dan jika ada perbedaan antara Zaid dengan ketiga orang Quraish tersebut, hendaklah ditulis dalam bahasa Quraish karena Al Qur'an turun dalam dialek bahasa mereka. Setelah mengembalikan lembaran-lembaran asli kepada Hafsah, ia mengirimkan tujuh buah mushaf, yaitu ke Mekkah, Syam, Yaman, Bahrain, Bashrah, Kufah, dan sebuah ditahan di Madinah . Dalam riwayat yang lain Utsman juga memerintahkan untuk membakar naskah mushaf Al-Qur’an selainnya.
Utsman Radhiyallahu ‘anhu melakukan hal ini setelah meminta pendapat kepada para sahabat Radhiyalahu ‘anhum yang lain sesuai dengan apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Ali Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya dia mengatakan : “Demi Allah, tidaklah seseorang melakukan apa yang dilakukan pada mushaf-mushaf Al-Qur’an selain harus meminta pendapat kami semuanya”, Utsman mengatakan : “Aku berpendapat sebaiknya kita mengumpulkan manusia hanya pada satu Mushaf saja sehingga tidak terjadi perpecahan dan perbedaan”. Kami menjawab : “Alangkah baiknya pendapatmu itu” .
Mush’ab Ibn Sa’ad mengatakan : “Aku melihat orang banyak ketika Utsman membakar mushaf-mushaf yang ada, merekapun keheranan melihatnya”, atau dia katakan : “Tidak ada seorangpun dari mereka yang mengingkarinya, hal itu adalah termasuk nilai positif bagi Amirul Mukminin Utsman Ibn Affan Radhiyallahu ‘anhu yang disepakati oleh kaum muslimin seluruhnya. Hal itu adalah penyempurnaan dari pengumpulan yang dilakukan Khalifah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu .
Ibn Jarir mengatakan berkenaan dengan apa yang telah dilakukan oleh Usman: 'Ia menyatukan umat Islam dengan satu mushaf dan satu huruf, sedang mushaf yang lain disobek. Ia memerintahkan dengan tegas agar setiap orang yang mempunyai mushaf 'berlainan' dengan mushaf yang disepakati itu membakar mushaf tersebut, umat pun mendukungnya dengan taat dan mereka melihat bahwa dengan begitu Usman telah bertindak sesuai dengan petunjuk dan sangat bijaksana. Maka umat meninggalkan qiraat dengan enam huruf lainnya sesuai dengan permintaan pemimpinnya yang adil itu, sebagai bukti ketaatan umat kepadanya dan karena pertimbangan demi kebaikan mereka dan generasi sesudahnya .
Dengan demikian segala qiraat yang lain sudah dimusnahkan dan bekas-bekasnya juga sudah tidak ada. Sekarang sudah tidak ada jalan bagi orang yang ingin membaca dengan ketujuh huruf itu dan kaum muslimin juga telah menolak qiraat dengan huruf-huruf yang lain tanpa mengingkari kebenarannya atau sebagian dari padanya. Tetapi hal itu bagi kebaikan kaum muslimin itu sendiri. Dan sekarang tidak ada lagi qiraat bagi kaum muslimin selain qiraat dengan satu huruf yang telah dipilih olah imam mereka yang bijaksana dan tulus hati itu. Tidak ada lagi qiraat dengan enam huruf lainya.
Perbedaan antara pengumpulan yang dilakukan Utsman dan pengumpulan yang dilakukan Abu Bakar Radhiyallahu anhuma adalah : Tujuan dari pengumpulan Al-Qur’an di zaman Abu Bakar adalah menuliskan dan mengumpulkan keseluruhan ayat-ayat Al-Qur’an dalam satu mushaf agar tidak tercecer dan tidak hilang tanpa membawa kaum muslimin untuk bersatu pada satu mushaf ; hal itu dikarenakan belih terlihat pengaruh dari perbedaan dialek bacaan yang mengharuskannya membawa mereka untuk bersatu pada satu mushaf Al-Qur’an saja.
Sedangkan tujuan dari pengumpulan Al-Qur’an di zaman Utsman Radhiyallahu ‘anhu adalah : Mengumpulkan dan menuliskan Al-Qur’an dalam satu mushaf dengan satu dialek bacaan dan membawa kaum muslimin untuk bersatu pada satu mushaf Al-Qur’an karena timbulnya pengaruh yang mengkhawatirkan pada perbedaan dialek bacaan Al-Qur’an.
Hasil yang didapatkan dari pengumpulan ini terlihat dengan timbulnya kemaslahatan yang besar di tengah-tengah kaum muslimin, di antaranya : Persatuan dan kesatuan, kesepakatan bersama dan saling berkasih sayang. Kemudian mudharat yang besarpun bisa dihindari yang di antaranya adalah : Perpecahan umat, perbedaan keyakinan, tersebar luasnya kebencian dan permusuhan.
Dalam perspektif tata urutan surat atau ayat dalam Al Qur'an muncul permasalahan yang oleh kalangan Orientalis dianggap sebagai permasalan mendasar yang berpengaruh pada aspek otentitas Al Qur'an. Jumhur ulama sepakat bahwa penertiban surat-surat dalam Al Qur'an bersifat "Tauqifi" artinya berdasarkan petunjuk Rasulullah SAW yang diterimanya dari malaikat Jibril. Tata urutan dalam penertiban surat bukanlah hasil pemikiran atau ijtihad para Shahabat terutama Shahabat yang tergabung dalam majlis penulisan dan pengumpulan Al Qur'an.
Ibnu Faris menjelaskan bahwa proses pengumpulan Al Qur'an terdiri dari dua macam yaitu penyusunan AL Qur'an yang berarti mendahulukan As Sab'u Ath Thiwal kemudian ayat-ayat lain dari al Mi'in sebagaimana yang dikerjakan oleh para Shahabat; kedua adalah pengumpulan ayat dalam dalam surat. Inilah yang tauqifi dimana Rasulullah SAW yang mengurusi langsung sesuai dengan arahan malaikat Jibril. Pendapat yang serupa juga dikemukakan oleh Abu Bakar al Anbari .
Sebelum dilakukan pengumpulan Al Qur'an, terdapat beberapa versi tata urutan ayat dan surat dalam Al Qur'an, misalnya mushaf Ali bin Abi Thalib ditulis berdasarkan tanggal turunnya Al Qur'an, dimana surat pertamnya adalah Surat al Alaq, AL Muddatstsir dst, sedangkan mushaf Abdullah bin Masud dimulai dengan Surat Al Baqarah, kemudian An Nisa, dan kemudian Ali Imran, demikian juga dengan mushaf Ubay yang kurang lebih mirip dengan mushaf Ibnu Mas'ud.
Dengan demikian pengumpulan Al Qur'an pada masa Khalifah Utsman telah berhasil mengatasi perbedaan-perbedaan tentang qiraat dan juga tata urutan ayat dan surat dalam Al Qur'an. Perlu diketahui bahwa pengaturan surat dalam Al Qur'an dewasa ini memang ditentukan berdasarkan pengurutannya sejak berada di Lauhul Mahfudz, dan yang di baca oleh Rasulullah SAW dihadapan malaikat Jibril dalam setiap tahunnya.
Imam Az Zarkasyi dalam kitab Burhan menjelaskan bahwa perbeda-an pokok dalam penertiban ayat dan surat dalam Al Qur'an tersebut bersifat "tauqifi quoli" atau berdasarkan petunjuk langsung dari Nabi berdasarkan kata-kata atau "istinad fi'liy' artinya amalan para Shahabat karena mereka memiliki kemampuan untuk melakukan itu ?

3. Perbedaan antara Pengumpulan Abu Bakar dengan Utsman
Dari teks-teks di atas jelaslah bahwa pengumpulan mushaf oleh Abu Bakar ra. berbeda dengan pengumpulan yang dilakukan Usman ra. dalam motif dan caranya. Motif Abu Bakar adalah kekhawatiran Rasulullah SAW akan hilangnya Al-Qur'an karena banyaknya para penghafal Al-Qur'an yang gugur dalam peperangan yang banyak menelan korban. Sedang motif Usman ra. dalam karena banyaknya perbedaan dalam cara-cara membaca Al-Qur'an yang disaksikannya sendiri di daerah-daerah dan mereka saling menyalahkan antara satu dengan yang lain.
Pengumpulan Al-Qur'an yang dilakukan Abu Bakar ra. ialah memin-dahkan satu tulisan atau catatan Al-Qur'an yang semula bertebaran di kulit-kulit binatang, tulang, dan pelepah kurma, kemudian dikumpulkan dalam satu mushaf, dengan ayat-ayat dan surah-surahnya yang tersusun serta terbatas dalam satu mushaf, dengan ayat-ayat dan surah-surahnya serta terbatas dengan bacaan yang tidak dimansukh dan tidak mencakup ke tujuh huruf sebagaimana ketika Qur'an itu diturunkan.
Al-Haris al-Muhasibi mengatakan bahwa yang masyhur di kalangan orang banyak ialah bahwa pengumpul Al-Qur'an itu Usman ra. Padahal sebenarnya tidak demikian, Usman ra. hanyalah berusaha menyatukan umat pada satu macam (wajah) qiraat, itupun atas dasar kesepakatan antara dia dengan kaum muhajirin dan anshar yang hadir dihadapannya. Serta setelah ada kekhawatiran timbulnya kemelut karena perbedaan yang terjadi karena penduduk Iraq dengan Syam dalam cara qiraat. Sebelum itu mushaf-mushaf itu dibaca dengan berbagai macam qiraat yang didasarkan pada tujuh huruf dengan mana Qur'an diturunkan. Sedang yang lebih dahulu mengumpulkan Qur'an secara keseluruhan (lengkap) adalah Abu Bakar as-Sidiq. Dengan usahanya itu Usman telah berhasil menghindarkan timbulnya fitnah dan mengikis sumber perselisihan serta menjaga isi Qur'an dari penambahan dan penyimpangan sepanjang zaman .
Mereka melakukan perintah itu. Setelah mereka selesai menyalinnya menjadi beberapa mushaf, Usman ra. mengembalikan lembaran-lembaran asli itu kepada Hafsah ra. Kemudian Usman ra. mengirimkan salinan ke setiap wilayah dan memerintahkan agar semua Al-Qur'an atau mushaf lainnya dibakar. Lihat salinan yang uthman buat. ianya adalah dari mashaf hafsah jugak..bukan yang lain jadi al-quran pada hari ni adalah al-quran dari pengumpulan zaman abu bakar.

B. PASCA MASA KHULAFAUR RASYIDIN
Penulisan Al Qur'an pasca pemerintahan Khulafaur Rasyidin cenderung mengarah pada teknis bacaan dan bentuk huruf – yang kesemuanya diarahkan untuk memudahkan umat Islam membaca Al Qur'an. Hal tesebut dapat saja terjadi mengingat perkembangan umat Islam dan wilayah politik yang dikuasi tumbuh secara signifikan termasuk didalamnya wilayah-wilayah kerajaan Persia dan Romawi. Imbas dari perkembangan tersebut adalah terjadinya adaptasi budaya asing dalam komunitas umat Islam dan juga masuknya bangsa lain dalam keyakinan theologis Islam.
Sebagaimana telah diketahui, bahwa naskah mushaf ‘Utsmani generasi pertama adalah naskah yang ditulis tanpa alat bantu baca yang berupa titik pada huruf (nuqath al-i’jam) dan harakat (nuqath al-i’rab) –yang lazim kita temukan hari ini dalam berbagai edisi mushaf al-Qur’an-. Langkah ini sengaja ditempuh oleh Khalifah ‘Utsman r.a. dengan tujuan agar rasm (tulisan) tersebut dapat mengakomodir ragam qira’at yang diterima lalu diajarkan oleh Rasulullah saw. Dan ketika naskah-naskah itu dikirim ke berbagai wilayah, semuanya pun menerima langkah tersebut, lalu kaum muslimin pun melakukan langkah duplikasi terhadap mushaf-mushaf tersebut; terutama untuk keperluan pribadi mereka masing-masing. Dan duplikasi itu tetap dilakukan tanpa adanya penambahan titik ataupun harakat terhadap kata-kata dalam mushaf tersebut. Hal ini berlangsung selama kurang lebih 40 tahun lamanya .
Dalam masa itu, terjadilah berbagai perluasan dan pembukaan wilayah-wilayah baru. Konsekwensi dari perluasan wilayah ini adalah banyaknya orang-orang non Arab yang kemudian masuk ke dalam Islam, disamping tentu saja meningkatnya interaksi muslimin Arab dengan orang-orang non Arab –muslim ataupun non muslim-. Akibatnya, al-‘ujmah (kekeliruan dalam menentukan jenis huruf) dan al-lahn (kesalahan dalam membaca harakat huruf) menjadi sebuah fenomena yang tak terhindarkan. Tidak hanya di kalangan kaum muslimin non-Arab, namun juga di kalangan muslimin Arab sendiri.
Hal ini kemudian menjadi sumber kekhawatiran tersendiri di kalangan penguasa muslim. Terutama karena mengingat mushaf al-Qur’an yang umum tersebar saat itu tidak didukung dengan alat bantu baca berupa titik dan harakat.
Secara umum perkembangan penulisan Al Qur'an pasca Khulafaur Rasyidin meliputi tiga hal yaitu Pertama; meletakkan tanda bacaan (i'rab) pada tiap kalimat dalam bentuk titik untuk menghindari kesalahan dalm membaca. Kedua; memberikan titik sebagai pembeda antara satu huruf dengan lainnya (Baa'; dengan satu titik di bawah, Ta; dengan dua titik di atas, Tsa; dengan tiga titik di atas) dan Ketiga; Peletakan baris atau tanda baca (i'rab) seperti: Dhammah, Fathah, Kasrah dan Sukun, mengikuti cara pemberian baris.

1. Pemberian Harakat (Nuqath al-I'rab)
Dalam beberapa referensi disebutkan bahwa yang pertama kali mendapatkan ide pemberian tanda bacaan terhadap mushaf al-Qur’an adalah Ziyad bin Abihi, salah seorang gubernur yang diangkat oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan r.a. untuk wilayah Bashrah (45-53 H). Kisah munculnya ide itu diawali ketika Mu’awiyah menulis surat kepadanya agar mengutus putranya, ‘Ubaidullah, untuk menghadap Mu’awiyah. Saat ‘Ubaidullah datang menghadapnya, Mu’awiyah terkejut melihat bahwa anak muda itu telah melakukan banyak al-lahn dalam pembicaraannya. Mu’awiyah pun mengirimkan surat teguran kepada Ziyad atas kejadian itu. Tanpa buang waktu, Ziyad pun menulis surat kepada Abu al-Aswad al-Du’aly .
“Sesungguhnya orang-orang non-Arab itu telah semakin banyak dan telah merusak bahasa orang-orang Arab. Maka cobalah Anda menuliskan sesuatu yang dapat memperbaiki bahasa orang-orang itu dan membuat mereka membaca al-Qur’an dengan benar.”

Abu al-Aswad sendiri pada mulanya menyatakan keberatan untuk melakukan tugas itu. Namun Ziyad membuat semacam ‘perangkap’ kecil untuk mendorongnya memenuhi permintaan Ziyad. Ia menyuruh seseorang untuk menunggu di jalan yang biasa dilalui Abu al-Aswad, lalu berpesan: “Jika Abu al-Aswad lewat di jalan ini, bacalah salah satu ayat al-Qur’an tapi lakukanlah lahn terhadapnya!” Ketika Abu al-Aswad lewat, orang inipun membaca firman Allah yang berbunyi:
ru&rŒsºb× #${F2ò9yŽÎ #$:øtpkdÆ ƒtqöPt #$9Z$Ä )Î<n ruußq!Î&Ͼÿ #$!« BiÏÆš ùs*Îb 4 ruußq!è&ã¼   #$9øJß³ôŽÎ.Ïüût BiÏ`z /tÌüäÖ #$!© &rbùs$$æ÷=nJßqþ#( ?squ9©ŠøGçNö ru)Îb ( 9©6àNö zyöŽ× ùsgßqu ?è6öFçNö .xÿxãr#( #$!©%Ïïût ru0o³eÅŽÎ 3 #$!« Bãè÷fÉÌ îxöŽç &rR¯3äNö ÈÌÇ &r9ÏŠOA /Îèyx#U>

Artinya : “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrik .......” (al-Taubah: 3)

Tapi ia mengganti bacaan “wa rasuluhu” menjadi “wa rasulihi”. Bacaan itu didengarkan oleh Abu al-Aswad, dan itu membuatnya terpukul. “Maha mulia Allah! Tidak mungkin Ia berlepas diri dari Rasul-Nya!” ujarnya. Inilah yang kemudian membuatnya memenuhi permintaan yang diajukan oleh Ziyad. Ia pun menunjuk seorang pria dari suku ‘Abd al-Qais untuk membantu usahanya itu. Tanda pertama yang diberikan oleh Abu al-Aswad adalah harakat (nuqath al-i’rab). Metode pemberian harakat itu adalah Abu al-Aswad membaca al-Qur’an dengan hafalannya, lalu stafnya sembari memegang mushaf memberikan harakat pada huruf terakhir setiap kata dengan warna yang berbeda dengan warna tinta kata-kata dalam mushaf tersebut. Harakat fathah ditandai dengan satu titik di atas huruf, kasrah ditandai dengan satu titik dibawahnya, dhammah ditandai dengan titik didepannya, dan tanwin ditandai dengan dua titik. Demikianlah, dan Abu al-Aswad pun membaca al-Qur’an dan stafnya memberikan tanda itu. Dan setiap kali usai dari satu halaman, Abu al-Aswad pun memeriksanya kembali sebelum melanjutkan ke halaman berikutnya .
Murid-murid Abu al-Aswad kemudian mengembangkan beberapa variasi baru dalam penulisan bentuk harakat tersebut. Ada yang menulis tanda itu dengan bentuk kubus (murabba’ah), ada yang menulisnya dengan bentuk lingkaran utuh, dan ada pula yang menulisnya dalam bentuk lingkaran yang dikosongkan bagian tengahnya . Dalam perkembangan selanjutnya, mereka kemudian menambahkan tanda sukun (yang menyerupai bentuk kantong air) dan tasydid (yang menyerupai bentuk busur) yang diletakkan di bagian atas huruf . Dan seperti yang disimpulkan oleh al-A’zhamy, nampaknya setiap wilayah kemudian mempraktekkan sistem titik yang berbeda. Sistem titik yang digunakan penduduk Mekah –misalnya- berbeda dengan yang digunakan orang Irak. Begitu pula sistem penduduk Madinah berbeda dengan yang digunakan oleh penduduk Bashrah. Dalam hal ini, Bashrah lebih berkembang, hingga kemudian penduduk Madinah mengadopsi sistem mereka . Namun lagi-lagi perlu ditegaskan, bahwa perbedaan ini sama sekali tidak mempengaruhi apalagi mengubah bacaan Kalamullah.

2. Pemberian Titik pada Huruf (Nuqath al-I'jam)
Pemberian tanda titik pada huruf ini memang dilakukan belakangan dibanding pemberian harakat. Pemberian tanda ini bertujuan untuk membedakan antara huruf-huruf yang memiliki bentuk penulisan yang sama, namun pengucapannya berbeda. Seperti pada huruf ب(ba),ت )ta(, )ثtsa(. Pada penulisan mushaf ‘Utsmani pertama, huruf-huruf ini ditulis tanpa menggunakan titik pembeda. Salah satu hikmahnya adalah –seperti telah disebutkan- untuk mengakomodir ragam qira’at yang ada. Tapi seiring dengan meningkatnya kuantitas interaksi muslimin Arab dengan bangsa non-Arab, kesalahan pembacaan jenis huruf-huruf tersebut (al-‘ujmah) pun merebak. Ini kemudian mendorong penggunaan tanda ini.
Ada beberapa pendapat yang berbeda mengenai siapakah yang pertama kali menggagas penggunaan tanda titik ini untuk mushaf al-Qur’an. Namun pendapat yang paling kuat nampaknya mengarah pada Nashr bin ‘Ashim dan Yahya bin Ya’mar . Ini diawali ketika Khalifah Abdul Malik bin Marwan memerintahkan kepada al-Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqafy, gubernur Irak waktu itu (75-95 H), untuk memberikan solusi terhadap ‘wabah’ al-‘ujmah di tengah masyarakat. Al-Hajjaj pun memilih Nahsr bin ‘Ashim dan Yahya bin Ya’mar untuk misi ini, sebab keduanya adalah yang paling ahli dalam bahasa dan qira’at .
Setelah melewati berbagai pertimbangan, keduanya lalu memutuskan untuk menghidupkan kembali tradisi nuqath al-i’jam (pemberian titik untuk membedakan pelafalan huruf yang memiliki bentuk yang sama). Muncullah metode al-ihmal dan al-i’jam . Al-ihmal adalah membiarkan huruf tanpa titik, dan al-i’jam adalah memberikan titik pada huruf. Penerapannya adalah sebagai berikut:
a. Untuk membedakan antara دdal dan ذdzal, رra’ dan زzay, صshad dan ضdhad, طtha’ dan ظzha’, serta ع‘ain dan غ ghain, maka huruf-huruf pertama dari setiap pasangan itu diabaikan tanpa titik (al-ihmal), sedangkan huruf-huruf yang kedua diberikan satu titik di atasnya (al-i’jam).
b. Untuk pasangan سsin dan ش syin, huruf pertama diabaikan tanpa titik satupun, sedangkan huruf kedua (syin) diberikan tiga titik. Ini disebabkan karena huruf ini memiliki tiga ‘gigi’, dan pemberian satu titik saja diatasnya akan menyebabkan ia sama dengan huruf nun. Pertimbangan yang sama juga menyebabkan pemberian titik berbeda pada huruf-huruf ب ba’, ت ta, ث tsa, ن nun, dan يya’.
c. Untuk rangkaian huruf جjim, حha’, dan خkha’, huruf pertama dan ketiga diberi titik, sedangkan yang kedua diabaikan.
d. Sedangkan pasangan فfa’ dan ق qaf, seharusnya jika mengikuti aturan sebelumnya, maka yang pertama diabaikan dan yang kedua diberikan satu titik diatasnya. Hanya saja kaum muslimin di wilayah Timur Islam lebih cenderung memberi satu titik atas untuk fa’ dan dua titik atas untuk qaf. Berbeda dengan kaum muslimin yang berada di ilayah Barat Islam (Maghrib), mereka memberikan satu titik bawah untuk fa’, dan satu titik atas untuk qaf .

Nuqath al-I’jam atau tanda titik ini pada mulanya berbentuk lingkaran, lalu berkembang menjadi bentuk kubus, lalu lingkaran yang berlobang bagian tengahnya. Tanda titik ini ditulis dengan warna yang sama dengan huruf, agar tidak sama dan dapat dibedakan dengan tanda harakat (nuqath al-i’rab) yang umumnya berwarna merah. Dan tradisi ini terus berlangsung hingga akhir kekuasaan Khilafah Umawiyah dan berdirinya Khilafah ‘Abbasiyah pada tahun 132 H. Pada masa ini, banyak terjadi kreasi dalam penggunaan warna untuk tanda-tanda baca dalam mushaf. Di Madinah, mereka menggunakan tinta hitam untuk huruf dan nuqath al-i’jam, dan tinta merah untuk harakat. di Andalusia, mereka menggunakan empat warna: hitam untuk huruf, merah untuk harakat, kuning untuk hamzah, dan hijau untuk hamzah al-washl. Bahkan ada sebagian mushaf pribadi yang menggunakan warna berbeda untuk membedakan jenis i’rab sebuah kata. Tetapi semuanya hampir sepakat untuk menggunakan tinta hitam untuk huruf dan nuqath al-i’jam, meski berbeda untuk yang lainnya.
Akhirnya, naskah-naskah mushaf pun berwarna-warni. Tapi di sini muncul lagi sebuah masalah. Seperti telah dijelaskan, baik nuqath al-i’rab maupun nuqath al-i’jam, keduanya ditulis dalam bentuk yang sama, yaitu melingkar. Hal ini rupanya menjadi sumber kebingungan baru dalam membedakan antara satu huruf dengan huruf lainnya .

3. Pemberian tanda Fathah, Dhammah, Sukun dan tanda lainnya.
Pemberian tanda titik dan sejenisnya memberi kesan warna-warni pada tulisan mushaf Al Qur'an. Di sinilah sejarah mencatat peran Khalil bin Ahmad al-Farahidy (w.170 H). Ia kemudian menetapkan bentuk fathah dengan huruf alif kecil yang terlentang diletakkan di atas huruf, kasrah dengan bentuk huruf ya’ kecil dibawahnya dan dhammah dengan bentuk huruf waw kecil diatasnya. Sedangkan tanwin dibentuk dengan mendoublekan penulisan masing-masing tanda tersebut. Al-Daly mengatakan:
“Dengan demikian, Khalil (al-Farahidy) telah meletakkan 8 tanda: fathah, dhammah, kasrah, sukun, tasydid, mad, shilah, dan hamzah. Dengan metode ini, sangat memungkinkan untuk menulis huruf, i’jam (tanda titik huruf), dan syakl (harakat) dengan warna yang sama .”

IV. PENGGANDAAN AL QUR'AN
Tidak dapat dipungkiri bahwa penemuan mesin cetak oleh Johannes Guttenberg pada tahun 1436 M (840 H) menjadi awal baru yang cemerlang bagi penyebaran ilmu, budaya dan peradaban. Meskipun pada mulanya, Guttenberg sangat merahasiakan penemuannya ini, namun dengan cepatnya penemuan ini menyebar ke berbagai wilayah Eropa lainnya di luar Jerman, negara asal Guttenberg. Tidak lama setelah itu, pada tahun 1465, mesin yang sama muncul di Roma, pada tahun 1470 di Paris, pada tahun 1471 di Barcelona, dan pada tahun 1474 di Inggris. Dan pada tahun 1486 M, ditemukanlah mesin cetak pertama dengan menggunakan huruf Arab.
Adapun di wilayah Timur (Islam-Arab), maka sejarah mencatat bahwa Turki merupakan negara yang pertama kali menerima teknologi ini. Diduga teknologi ini masuk bersama dengan masuknya imigran Yahudi ke wilayah Khilafah ‘Utsmaniyah. Dalam imigrasi itu mereka membawa serta mesin cetak untuk beberapa bahasa: Ibrani, Yunani, Latin dan Spanyol. Ini terjadi sekitar tahun 1551 M .
Sedangkan di wilayah Arab lainnya, pemunculan mesin cetak dapat disimpulkan sebagai berikut:
A. di Lebanon, mesin cetak mulai dikenal pada tahun 1610.
B. di Suria, mesin cetak mulai dikenal pada tahun 1706.
C. di Palestina dan Yordania pada tahun 1830. Di Irak juga mesin ini mulai dikenal pada tahun yang sama.
D. di Mesir, pemunculan mesin cetak sangat terkait dengan invasi Napoleon Bonaparte terhadap Mesir pada tahun 1798.
E. Sedangkan di kawasan Jazirah Arabia, negara pertama yang mengenal mesin cetak adalah Yaman, yaitu pada tahun 1879. Sedangkan di wilayah Hijaz (Saudi Arabia), teknologi ini mulai dikenal pada tahun 1909.
Menurut DR. Yahya Mahmud Junaid , percetakan al-Qur’an pertama setidaknya dilakukan di tiga tempat di Eropa:
A. Venesia atau Roma pada kisaran tahun 1499 sampai 1538 M, terdapat perbedaan pandangan tentang hal ini. Termasuk juga siapa yang memimpin proyek ini. Tetapi yang pasti salah satu dari versi cetak ini ditemukan oleh Angela Novo di perpustakaan seorang pendeta di Bunduqiyah. Namun juga kemudian disepakati bahwa cetakan ini lalu dimusnahkan atas perintah Paus saat itu, dengan berbagai dugaan seputar motivasi pemusnahan itu.
B. Hamburg pada tahun 1694. Proyek percetakan ini dilakukan oleh seorang orientalis Jerman yang beraliran Protestan, Ebrahami Hincklmani. Ia menegas-kan bahwa tujuannya menjalankan proyek ini bukan untuk menyebarkan ajaran Islam di kalangan orang Protestan, tapi untuk mempelajari Bahasa Arab dan Islam. Cetakan ini terdiri dari 560 halaman, dicetak dengan tinta hitam, namun sangat disayangkan memiliki banyak sekali kesalahan. Terdapat penggantian posisi huruf, hilangnya huruf tertentu dari satu kata, dan kesalahan lain terkait dengan penamaan surat. DR. Yahya menyebutkan bahwa cetakan ini masih tersimpan hingga kini di beberapa perpustakaan dunia, seperti Dar al-Kutub al-Mishriyyah dan Perpustakaan Universitas King Su’ud di Riyadh.
C. Batavia pada tahun 1698. Versi cetakan ini terdiri teks al-Qur’an itu sendiri, serta terjemah dan catatan komentar terhadapnya. Versi ini sendiri disiapkan oleh seorang pendeta Italia bernama Ludvico Marracei Lucersi. Cetakan ini memiliki kelebihan dari segi penggunaan jenis huruf yang lebih bagus dari 2 versi cetakan sebelumnya.

Pada tahun 1787, di Rusia (tepatnya di St. Pittsburg) juga muncul cetakan mushaf al-Qur’an yang dipimpin oleh Maulaya ‘Utsman. Lalu di tahun 1848, muncul pula cetakan lain di Qazan yang dipimpin oleh Muhammad Syakir Murtadha. Cetakan ini terdiri dari 466 halaman. Versi ini juga komitmen menggunakan rasm ‘utsmany dan penggunaan tanda waqf, meski tidak mencantumkan nomor-nomor ayat. Versi ini juga disertai dengan lembar koreksi yang memuat kesalahan cetak dan koreksinya.
Pada tahun 1834, muncul sebuah cetakan khusus mushaf al-Qur’an di kota Luzig, yang diupayakan oleh Flugel. Di sini patut dicatat bahwa meskipun kalangan Eropa memiliki perhatian khusus dalam upaya percetakan mushaf al-Qur’an, namun hasil upaya ini belum mendapatkan perhatian kaum muslimin. Salah satu sebabnya adalah karena cetakan-cetakan tersebut menyelisihi kaidah rasm ‘utsmany yang shahih .
Kondisi terus berlanjut hingga tahun 1890 M, ketika sebuah percetakan bernama al-Mathba’ah al-Bahiyyah berdiri di Kairo. Percetakan ini kemudian mencetak sebuah mushaf yang ditulis oleh seorang ulama qiraat bernama Syekh Ridhwan bin Muhammad, yang lebih dikenal sebagai al-Mikhallalaty. Dalam mushaf ini, Rasulullah komitmen dengan rasm ‘utsmany dan memberikan tanda waqf. Disamping itu, ia juga menuliskan pengantar yang memuat penjelasan tentang sejarah penulisan al-Qur’an dan rasm berdasarkan kitab al-Muqni’ karya Imam al-Dany dan kitab al-Tanzil karya Abu Dawud.
Mushaf versi ini kemudian dikenal dengan nama mushaf al-Mikhallalaty. Dan ia menjadi pilihan utama diantara semua jenis mushaf yang ada. Hanya saja kualitas kertas dan cetakannya agak buruk; suatu hal yang kemudian mendorong para ulama al-Azhar untuk membentuk panitia penulisan baru yang terdiri atas: Syekh Muhammad ‘Ali Khalaf al-Husainy, Syekh Hifny Nashif, Syekh Mushthafa ‘Inany dan Syekh Ahmad al-Iskandary. Cetakan pertama mushaf ini muncul pada tahun 1923 M, dan mendapatkan sambutan di dunia Islam.
Ketika cetakan pertama ini habis, di Mesir kembali dibentuk sebuah lajnah yang dipimpin langsung oleh Syeikhul Azhar dan beranggotakan: Syekh Abdul Fattah al-Qadhy, Syekh Muhammad ‘Ali al-Najjar, Syekh Ali Muhammad al-Dhabba’ dan Syekh ‘Abdul Halim Basyuni. Tim ini kemudian memeriksa ulang mushaf dengan merujuk kepada kitab-kitab qiraat, rasm, tafsir dan ulumul Qur’an. Setelah itu disiapkanlah cetakan kedua mushaf al-Qur’an dalam bentuk yang lebih teliti. Seiring dengan itu, usaha percetakan al-Qur’an pun berjalan di berbagai belahan dunia Islam.
Percetakan mushaf di Saudi Arabia bermula pada tahun 1949, ketika sebuah edisi mushaf yang dikenal dengan nama Mushaf Makkah al-Mukkaramah dicetak oleh Syarikah Mushaf Makkah al-Mukarramah. Dengan modal awal 200.000 real, perusahaan ini mendatangkan sebuah mesin cetak dari Amerika untuk mencetak mushaf dengan berbagai ukuran. Selain itu, mereka juga telah bersepakat dengan seorang ahli khat ternama, Ustadz Muhammad Thahir al-Kurdy untuk menulis mushaf yang sesuai dengan kaidah rasm ‘utsmany.
Setelah al-Kurdy menyelesaikan tugasnya, draft mushaf itu kemudian diperiksa ulang oleh sebuah team ulama, seperti al-Sayyid Ahmad Hamid al-Tijy –seorang guru qiraat di Madrasah al-Falah, Mekkah-, Syekh ‘Abd al-Zhahir Abu al-Samh –imam dan khathib Masjidil Haram-, dan beberapa ulama lainnya. Setelah diperiksa oleh tim ini, draft tersebut kemudian dikirim kepada Masyikhah al-Azhar yang kemudian mengesahkan draft mushaf tersebut.
Setelah melewati proses penulisan dan koreksi selama 5 tahun, pada tahun 1947 dimulailah proses percetakan mushaf ukuran besar, yang kemudian diselesaikan pada akhir tahun 1949. Lalu setelah itu, dicetaklah mushaf dengan ragam ukuran lainnya.
Mushaf Makkah al-Mukarramah ini kemudian mendapatkan sambutan yang hangat, di Saudi bahkan di luar Saudi. Bahkan Raja Saudi waktu itu, Abd al-‘Aziz Al-Su’ud memberikan dukungan moril dan materil kepada para pelaksana proyek ini.
Tiga puluh tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1979, muncul pula mushaf edisi baru yang dicetak di kota Jeddah. Hingga akhirnya pada tahun 1984 (bertepatan dengan bulan Muharram 1405 H), pemerintah Kerajaan Arab Saudi resmi membuka sebuah percetakan al-Qur’an terbesar di dunia, tepatnya di kota Madinah al-Munawwarah. Kompleks percetakan ini berdiri di atas tanah seluas 250.000 meter persegi, dan tidak hanya mencakup kantor dan percetakan, tapi juga perumahan, pusat perbelanjaan, restoran, rumah sakit, lapangan olah raga dan sarana lainnya .

V. KRITIK ORIENTALIS TERHADAP SEJARAH PENULISAN, PEMBUKUAN DAN PEWARISAN AL QUR'AN
Orientalis adalah orang atau intelektual Baarat yang mengembangkan kajain ketimuran (orient). Hasil kajian ketimuran yang dilakukan oleh intelektual Barat kemudian disusun secara sistematis menjadi sebuah paham, paradigma dan gerakan yang terus dikembangkan untuk mengacau pemahaman keislaman dan mencitrakan jelek terhadap umat Islam dan Islam itu sendiri sebagai tata nilai kehidupan.
Orientalisme berarti suatu cara untuk memahami dunia timur berdasarkan tempatnya yang khusus dalam pengalaman manusia Eropah. Dengan kata lain, Timur sebenarnya adalah istilah yang diciptakan oleh orang Barat – dalam artian "ditimurkan". Seorang pakar ketimuran, Edward Said menjelaskan bahwa orientalisme adalah kajian mengenai sesuatu tentang dunia Timur, tentang kebudayaannya, agama, peradabannya, kehidupannya, dan bahasa bukan hanya mengenai dunia Arab dan Islam saja .
Dalam perspektif yang lain, orientalisme dipahami sebagai ilmu tentang ketimuran atau pengkajian tentang dunia Islam, sedangkan orientalis adalah orang yang ahli (pakar) dalam bidang pengkajian ketimuran atau pengkajian Islam. Oleh karena itu orientalisme kajian akademik yang dilakukan oleh para ilmuan Barat mengenai Islam dan kaum muslimin dari seluruh aspeknya termasuk akidah, syariah, kebudayaan, peradaban, sejarah dan manusia. Ia bertujuan membentuk pandangan umum dan dalam hal tertentu untuk menguasai dunia Islam yang mencerminkan latar belakang ideology, sejarah dan kebudayaan antara Barat dan Timur .
Sebagaimana dijelaskan diatas, bahwa orientalisme lahir bersamaan dengan interaksi masyarakat Barat terhadap Islam dalam peristiwa perang Salib dan berkembang bersamaan dengan rasa benci dan dendam terhadap Islam. Maka secara umum kemunculan orientalisme dipicu oleh beberapa hal, yaitu ) :
A. Faktor Agama Faktor inilah yang menjadi asas kepada kemunculan dan pertumbuhan orientalisme yang berlangsung begitu lama dengan sasarannya :
1. Menimbulkan keraguan ke atas kerasulan Muhammad s.a.w dan menganggap hadis Nabi sebagai amal perbuatan ummat Islam (bukannya daripada nabi) selama tiga abad pertama;
2. Menimbulkan keraguan terhadap kebenaran al-Qur’an dan memutar belitnnya;
3. Memperkecil nilai fiqh Islam dan menganggapnya sebagai saduran dari hukum Romawi;
4. Menganaktirikan bahasa Arab dan menjauhkannya dari ilmu pengetahuan yang semakin berkembang;
5. Memperkenalkan teori bahwa Islam adalah berasal dari agama Yahudi dan Nasrani;
6. Mengkristiankan ummat Islam, dan
7. Menggunakan hadis-hadis dha’if dan maudhu’ untuk menyokong pendapatnya dan mengembangkan teorinya.
B. Faktor ekonomi dan penjajahan Institusi-institusi kewangan, industri-industri mega dan pihak pemerintah sendiri telah mengeluarkan banyak modal untuk kajian-kajian bagi mengenalpasti keadaan negara-negara Islam dengan lebih mendalam . Kajian tersebut sangat digalakkan ter-utamanya pada masa sebelum penjajahan Barat dalam abad 19-20 M.
C. Faktor politik dengan sasaran : pertama melemahkan semangat ukhuwah Islamiyah dan memecah belah ummat untuk membolehkan mereka (orang-orang Islam) dikuasai; kedua menghidupkan bahasa Arab ‘amiyyah (bahasa pasar) dan mengubah adat istiadat yang diamalkan; dan ketiga para pegawai di negara-negara Islam diarahkan untuk mempelajari bahasa asing (iaitu bahasa penjajah) agar memahami kebudayaan dan agama penjajah – supaya mereka mudah dipengaruhi dan dikuasai.
D. Faktor keilmuan dengan sasaran; pertama sebagian orientalis ada yang mengarahkan kajian dan analisanya semata-mata untuk menambah ilmu dan pengetahuan. Sebagian mereka ada yang memahami asas-asas dan roh Islam malah ada yang memeluk Islam, seperti Thomas Arnold yang mempunyai peranan yang besar dalam menyadarkan kaum muslimin dengan bukunya "The Preaching in Islam", dan Dinet yang telah memeluk Islam dan tinggal di Algeria. la menulis, buku Sinar Khusus Cahaya Islam. Ia meninggal di Perancis dan dikebumikan di Algeria.

Menurut pengamatan Amien Rais sekurang-kurangnya terdapat enam dogma yang dikembangkan oleh orientalisme , yaitu:
A. Ada perbedaan mutlak dan perbedaan sistematik antara Barat yang rasional, maju, manusiawi dan superior, dengan Timur yang sesat, irrasional, terbelakang dan inferior. Menurut anggapan mereka, hanya orang Eropa dan Amerika yang merupakan manusia-penuh, sedangkan orang Asia-Afrika hanya bertaraf setengah-manusia
B. Abstraksi dan teorisasi tentang Timur lebih banyak didasarkan pada teks-teks klasik, dan hal ini lebih diutamakan daripada bukti-bukti nyata dari masyarakat Timur yang konkret dan riil.
C. Timur dianggap begitu lestari (tidak berubah-ubah), seragam, dan tidak sanggup mendefinisikan dirinya. Karena itu menjadi tugas Barat untuk mendefinisikan apa sesungguhnya Timur itu, dengan cara yang sangat digeneralisasi, dan semua itu dianggap cukup obyektif.
D. Keempat, pada dasarnya Timur itu merupakan sesuatu yang perlu ditakuti, atau sesuatu yang perlu ditaklukkan. Apabila seorang orientalis mempelajari Islam dan umatnya, keempat dogma itu perlu ditambah dengan dua dogma pokok lainnya.
E. Al-Quran bukanlah wahyu Ilahi, melainkan hanyalah buku karangan Muhammad yang merupakan gabungan unsur-unsur agama Yahudi, Kristen, dan tradisi Arab pra-Islam, dan
F. Kesahihan atau otentisitas semua sumber ajaran Islam harus diragukan.

Studi yang dilakukan para orientalis berangkat dari paradigma berfikir bahwa Islam adalah agama yang bisa diteliti dari sudut mana saja dan dengan kebebasan sedemikian rupa. Tidak mengherankan kalau mereka begitu bebasnya menilai, mengritik bahkan melucuti ajaran-ajaran dasar Islam yang bagi kaum Muslim tabu untuk dipermasalahkan. Studi yang mereka lakukan meliputi seluruh aspek ajaran Islam seperti sejarah, hukum, theologi, Al Quran, Al Hadis, tasawuf, bahasa, politik, kebudayaan dan pemikiran.
Dalam konteks study Al Qur'an mereka melakukan kritik dengan alur dan pemikiran mereka sendiri yaitu mendeskriditkan keluhuran, kemurnian (otentitas) al Qur'an. Jika mereka melakukan kritik terhadap Al Hadits dengan mengkonsentras-ikan pada aspek kepribadian seorang Muhammad SAW sebagai nara sumber berkembangan Hadits atau Tradisi, juga menyangkut aspek teknis kualitas dan keabsahan hadits dilihat dari dimensi periwayatan (Rawi), penyandaran (sanad), subtansi atau isi Hadits (Matan), proses penulisan dan kodifikasi Hadits serta pewarisan hadits dari generasi Shahabat, Tabiin, Tabiit-Tabiin dan ke generasi berikutnya (umat Islam saat ini), maka kritik orientalis terhadap Al Qur'an diarahkan untuk mementahkan otentitas dalam perspektif ayat-ayat dan surat-surat dalam Al Qur'an dengan mengembangkan pemikiran bahwa terdapat perdebatan yang sengit berkaitan dengan prosedur pengakuan bahwa ayat a atau surat menjadi bagian atau tidak menjadi bagian dari kesatuan Al Qur'an – termasuk kontroversi peletakan masing-masing ayat atau surat.
Secara umum kritik orientalsi terhadap eksistensi Al Qur'an sebagai sumber ajaran agama diarahkan pada hal-hal sebagai berikut :
A. Kontroversi prilaku Rasulullah SAW dalam menerima wahyu terutama ketika Rasulullah menerimanya dalam bentuk gemerincingnya lonceng yang berakibat perubahan fisik.
B. Kontroversi peletakan atau tata urutan ayat dan surat dalam Al Qur'an
C. Kontroversi perbedaan bacaan yang berkembang dalam masyarakat Islam terutama setelah Islam berkembang dengan pesat pasca Khulafaur Rasyidin
D. Kontroversi prosedur penulisan, pengumpulan dan penggandaan Al Qur'an baik yang dilakukan olen Abu Bakar Ash Shiedieq maupun Utsman Bin Affan.
E. Kontroversi pembakaran manuskrip-manuskrip Al Qur'an lain yang dimiliki oleh para Shahabat pasca pengumpulan dan penulisan Al Qur'an dan motivasi apa yang berkembang dibalik pembakaran tersebut.

Para orientalis barangkali berfikir bahwa pengumpulan, penulisan dan pewarisan Al Qur'an tidak jauh berbeda dengan kasus-kasus lain berkaitan dengan pertikaian umat beragama ketika mereka dihadapkan pada klaim yang benar terhadap kitab suci mereka. Dalam agama-agama samawi terdapat kasus yang sampai hari ini menjadi bahasan yaitu kontroversi keabsahan Bieble yang menurut catatan sejarah baru disahkan sebagai kitab pegangan umat Kristiani Pasca Konferensi Nicea II. Realitas tersebut dicoba untuk digeneralisasikan dalam perspektif kesejarahan Al Qur'an, sehingga merekapun meragukan otentitas Al Qur'an atau bahkan mereka mengatakan legalisasi Al Qur'an menjadi 30 juz, 114 Surat dan 6666 ayat yang sekarang dikenal dengan Mushaf Utsmani dilakukan dengan kekerasan dan pengerahan kekuatan politik oleh Utsman.
Ugi Suharto, PhD seorang Asisten Profesor di Universitas Islam Antarbangsa (UIA), Malaysia) menjelaskan bahwa serangan kaum Orientalis terhadap Mushaf Utsmani dilakukan dengan 3 cara, yaitu :
A. Periwayatan Al Qur'an
Kritik yang berkaitan dengan tidak adanya keseragaman riwayat dalam hal bacaan, peletakan ayat dan surat termasuk didalamnya adalah keaneka ragaman tulisan yang dimiliki oleh Shahabat sebelum terjadi pengumpulan pada masa khalifah Abu Bakar dan penulisan ulang Al Qur'an pada masa Utsman bin Affan yang dilanjutkan dengan pembakaran naskah lain yang tidak disepakati oleh team penulisan AL Qur'an dan pengiriman naskah tunggal tersebut ke pelbagai wilayah Islam.

B. Kritik terhadap manuskrip-manuskrip lama tentang Al Qur'an.
Para orientalis menggunakan periwayatan terutama riwayat yang berkaitan dengan qiraat Al Qur'an yang didapat dari manuskrip atau suhuf lama sebagai upaya untuk mengacaukan Al Qur'an. Jika riwayat yang berkaitan dengan bacaan Al Qur'an tersebut dinyatakan bermasalah setelah mereka membandingkannya dengan beberapa manuskrip lama, maka yang terjadi adalah kekacauan bacaan Al Qur'an. Semua bacaan Al Qur'an menjadi benar dan tiada seorangpun yang sah untuk menolak gaya baca terhadap Al Qur'an.
Dalam konteks tersebut para orientalis mengabaikan mengabaikan tiga rukun dan syarat diterimanya sebuah qiraah, yakni kesesuaian dengan kaidah bahasa Arab; kesesuaian dengan Mushaf Utsmani; dan sanad periwayatannya sah. Tujuan utama penggunaan manuskrip lama adalah mengikis dan menghapuskan ketiga rukun qiraah di atas untuk kemudian diberikan alternatif dan arti baru bagi penerimaan qiraah. Arti baru itu adalah: setiap bacaan yang ditemukan dalam manuskrip lama adalah bacaan yang diterima.
Arti baru ini, yang sebenarnya mempunyai dasar pemikiran berbeda, telah dimulai oleh Ignaz Goldziher, seorang orientalis dari Hungaria. Ia mengatakan bahwa banyaknya qiraah itu bersumber dari tulisan Al-Quran (rasm) yang asalnya tidak mempunyai titik (naqth) dan baris (syakl atau harakah). Menurutnya, qiraah itu dasarnya adalah rasm .
Lebih lanjut Ugi Suharto, PhD menjelaskan bahwa para ulama Islam yang tahu persis sejarah Al-Quran pun — yang mana Goldziher sendiri merujuk kepada kitab-kitab mereka — dari dahulu telah sepakat bahwa dasar qiraah itu adalah riwayat. Karena memang begitulah Al-Quran itu disampaikan dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam kepada para sahabat dan seterusnya kepada ummat ini. Tetapi Goldziher memang sengaja menyalahi kesepakatan para ulama Islam yang dirujuknya itu karena ingin membuka peluang bagi penemuan-penemuan manuskrip lama yang nantinya akan menurunkan wibawa Mushaf Utsmani. Dari sini, nyata sekali pemikiran tersebut telah diambil oleh Puin .
Kalaulah benar dakwaan Goldziher itu, sudah barang tentu tidak ada lagi Qiraah Tujuh, Sepuluh, atau Empat Belas yang kita sebutkan sebelum ini. Dan sudah tentu pula akan ada lebih banyak qiraah yang beredar dan diakui dari dahulu hingga kini, termasuk qiraah yang tidak kuat dari Rasulullah.
Sejarah Al-Quran juga mengisyaratkan bahwa hikmah di balik Khalifah Utsman meniadakan titik dan baris bagi mushafnya adalah supaya mushaf itu memungkinkan (ihtimal) bacaan-bacaan lain yang bersumber dari Rasulullah juga. Jadi apabila ada satu bacaan yang mungkin terkandung dalam, dan sesuai dengan Mushaf Utsmani, tetapi tidak diriwayatkan dari Rasulullah, maka bacaan itu ditolak oleh para ulama Islam. As- Suyuthi dalam kitabnya al-Itqan ketika memberi penjelasan mengenai ketiga rukun qiraah juga menyatakan hal itu .
Pada tahun 354 Hijriah telah meninggal seseorang bernama Ibnu Miqsam. Ia pernah mengeluarkan pendapat bahwa setiap bacaan yang sesuai dengan tulisan (rasm) mushaf dan mempunyai sisi kesesuaian dengan tata bahasa Arab, bacaan itu boleh dipakai dalam sembahyang, sekalipun bacaan itu tidak diriwayatkan dari Rasulullah.
Pemikiran Goldziher yang disambut baik oleh Puin itu tidak lain merupakan upaya membangkitkan kembali kesesatan lama Ibnu Miqsam yang telah terkubur. Goldziher tahu perkara ini. Ia, yang dalam hati kecilnya pernah mengakui kebenaran Islam dan Al- Quran, telah menutup balik cahaya yang Allah telah pancarkan dalam dirinya. Sayang sekali Goldziher yang kita kenal adalah seorang orientalis yang sangat keras penentangannya terhadap Islam dan sumber- sumbernya. Kini giliran Puin pula yang melanjutkan pemikirannya dan mendakwa bahwa qiraah yang ditemukan dalam manuskrip Sana’a itu mempunyai nilai yang tinggi, karena semata-mata hal itu bersumber dari manuskrip lama, tanpa mempertimbangkan jalan periwayatannya .
Maha Benar Allah ketika berfirman: “Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al-Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surah (saja) yang semisal Al-Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. Maka jika kamu tidak dapat membuat(nya), dan pasti kamu tidak akan dapat membuat(nya), peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir.” (Al-Baqarah: 23- 24).
C. Tafsiran-tafsiran sepihak dan kekuatan intelektual.
Serangan ini tidak lagi mempergunakan alternatif Mushaf Utsmani seperti percobaan mereka malalui jalan riwayat dan manuskrip lama, tetapi sekadar menanamkan perasaan ragu dalam jiwa kaum Muslimin akan kewibawaan Al-Quran yang diwakili oleh Mushaf Utsmani. Mereka menginginkan agar sikap kaum Muslimin terhadap Al-Quran itu sedikit demi sedikit berubah sehingga sama dengan sikap orang-orang Kristian terhadap Bible, atau sikap orang-orang Yahudi terhadap Talmud, yang tidak menganggap kitab-kitab itu asli dari Nabi mereka.
Jadi, kalangan sarjana Bibel sendiri sudah menyimpulkan bahwa Bibel memuat sejumlah permasalahan mendasar yang tidak mungkin untuk diselesaikan. Bibel bukanlah sebuah kitab suci yang dipahami masyarakat Kristen awam. Studi kritis Bibel (Biblical criticism) telah berkembang dengan begitu mapan. Kajian historis terhadap Bibel yang telah dilakukan oleh para sarjana Bibel telah menunjukkan bahwa teks resmi/teks standart Bibel sama sekali tidak bisa diterima. Jika sarjana Bible sendiri menunjukkan begitu seriusnya problema yang dihadapi teks Bible, maka sekarang sarjana dari kalangan Muslim yang mencoba-coba menyeret problema itu untuk diaplikasikan dalam studi Al Qur'an .
Salah seorang dari mereka yang telah diwas-waskan oleh bisikan itu adalah pemikir Mesir yang bernama Nashr Hamid Abu Zayd dengan karyanya Mafhum al-Nash. Apabila gelanggang perdebatan ilmiah tidak berfungsi, padahal cara itu dianjurkan juga oleh Al-Quran (“Dan debatlah mereka dengan cara yang paling baik.” Surah an-Nahl: 125) maka undang-undang Mesir menjatuhkan hukuman murtad terhadap Abu Zayd dan akibatnya Rasulullah mesti menceraikan isterinya, Dr Ibtihal, yang juga seorang terpelajar. Karena takut dibunuh oleh golongan Islam garis keras, maka pada tahun 1995 kedua suami isteri ini melarikan diri ke Eropa. Tapi orang yang dianggap murtad oleh kerajaan Mesir ini justru disambut hangat oleh para pengkaji Barat dan diberikan tempat terhormat di Universitas Leiden, Belanda .
Perang pemikiran dalam rangka menumbuhkan keragu-raguan terus ditumbuhkan, misalnya dengan meniup aroma kontroversi Mushaf Utsmani baik dilihat dari aspek proses penulisannya sampai pada aspek sentiment politik. Mus'ab ibn Sa'd menyatakan bahwa tidak seorangpun dari Muhajirin, Ansar, dan orang-orang yang berilmu mengingkari perbuatan Utsman RA. Ali bin Abi Talib menyatakan, ''Seandainya aku yang berkuasa, niscaya aku akan berbuat mengenai mushaf sebagaimana yang Utsman buat.'' Thabit ibn imarah al-Hanafi menyatakan bahwa ia mendengar dari Ghanim ibn Qis al-Mazni yang menyatakan, ''Seandainya Utsman belum menulis Mushaf, maka manusia akan mulai membaca puisi.'' Selanjutnya, Abu Majlaz mengatakan, ''Seandainya Utsman tidak menulis Al Qur'an , maka manusia kan terbiasa membaca puisi.'' Bahkan Abu Ubayd (224 H), sejak kurang lebih 1.200 tahun yang lalu, telah menghimpun pernyataan beberapa sahabat mengenai Mushaf Utsmani dan menyimpulkan bahwa hukumnya kafir bagi siapa yang mengingkari Mushaf Utsmani. Jadi, para sahabat menyepakati tindakan Utsman untuk menghimpun Al Qur'an . Kesepakatan tersebut juga tercermin di dalam salah satu syarat sahnya sebuah qiraah, yaitu harus sesuai dengan ortografi Mushaf Utsmani. Syarat ini merupakan ijma ulama .
Studi Al Qur'an yang yang dilakukan oleh para orientalis memang diarahkan untuk melemahkan Islam dalam perspektif gelobal, tentu dengan berbagai cara yang yakini mampu. Tidak jarang pula terjadi pertengkaran dikalangan intelektual barat atau ahli keislaman berkaitan dengan kritikmereka terhadap AL Qur'an, misalnya serangan Edward Said terhadap kesalahan-kesalahan orientalis dalam memandang Islam.
Kita maklum jika kaum orientalis mengkritisi Al Qur'an untuk melemah-kan Islam, lalu bagaimana dengan scholarship Muslim yang melakukan tindakan yang sama dengan kaum orientalis, misalnya para intelektual JIL (Jaringan Islam Liberal). Coba perhatikan apa yang ditulis oleh Luthfi Asy Syaukanie, salah seorang pentolan JIL sebagaimana termuat dalam http://islamlib.com/ id/artikel/Al Qur'an -dan-orientalisme/. Kutipan-kutipan tulisan pewaris orientalis tersebut misalnya :
1. Dengan beban psikologis seperti itu, studi kritis terhadap sumber-sumber Islam klasik tak bisa lagi dilakukan secara bebas. Para sarjana Islam yang mencoba melakukan kritik terhadap tradisi Islam klasik merasa perlu terlebih dahulu melakukan “disclaimer” bahwa mereka bukanlah orientalis dan apa yang mereka lakukan sesungguhnya demi kebaikan peradaban Islam, dan bukan karena membela kepentingan Barat atau orientalisme.
Beban psikologis itu tentu amat menganggu, menguras energi dan waktu. Alih-alih memfokuskan diri kepada pokok pembahasan, para sarjana muslim disibukkan berdebat tentang hal-hal yang sama sekali tidak pokok. Padahal, kalau mereka langsung masuk ke pangkal permasalahan tanpa terlalu mempersoalkan dari mana sebuah metode ilmu didapat, maka banyak hal yang bisa dilakukan dengan segera.
Hal itu, tentu saja bukan sama sekali untuk menghilangkan sikap kritis kita terhadap para orientalis atau orientalisme secara umum. Namun, berhenti pada pembahasan orientalisme, seperti yang dilakukan Edward Said, bukanlah pekerjaan yang produktif dan berguna bagi agenda pembaruan dan pencerahan Islam.

2. Terlalu banyak manfaat yang bisa diambil dari khazanah orientalisme. Studi mereka tentang Qur’an, Hadis, dan sejarah Nabi merupakan bekal yang sangat berharga bagi kita untuk mengungkapkan misteri masa-masa awal sejarah Islam. Dengan metodologi dan standar akademi yang ketat, para ahli Islam dari Barat itu menggali hal-hal yang kerap diabaikan kaum muslim.
Studi mereka tentang sejarah Al Qur'an misalnya, sangat padat dan kaya dengan rujukan sumber-sumber Islam klasik. Penguasaan mereka akan bahasa Arab dan peradaban Mediterania membantu kita dalam mengeksplorasi hal-hal yang selama ini tercecer dalam tumpukan kitab-kitab klasik. Dengan bantuan para orientalis, kita dapat melihat secara lebih komprehensif lagi sejarah pembentukan Al Qur'an .
Satu hal yang kerap diabaikan (atau sengaja diabaikan) kaum muslim adalah bahwa para orientalis itu juga merujuk buku-buku klasik yang bisa ditelusuri dan dibuktikan. Saya pernah mengecek sebagian sumber-sumber kitab klasik yang dirujuk Arthur Jeffrey, Theodor Noldeke, dan John Wansbrough dalam studi mereka tentang sejarah Al Qur'an . Sejauh menyangkut data, tak ada satupun kekeliruan yang mereka perbuat. Semuanya tepat dan mengagumkan.

3. Saya kemudian malah jadi bertanya-tanya, betapa banyak data dalam sejarah Al Qur'an yang disembunyikan ulama konservatif. Atau saya curiga jangan-jangan mereka memang tidak tahu akan wacana yang begitu kompleks dalam literatur sejarah Al Qur'an . Padahal, pandangan-pandangan yang kerap dituduh sebagai “ciptaan orientalis” sesungguhnya adalah fakta sejarah yang terekam dalam kitab-kitab mu’tabarah (rujukan). Misalnya, dalam al-Fihrist karya Ibn Nadiem disebutkan bahwa surah Al-Fatihah bukanlah bagian dari Al Qur'an ; dalam Al-Itqan karya Jalaluddin al-Suyuthi disebutkan bahwa surah al-Ahzab semula berjumlah 200 ayat, tapi kemudian dipotong hingga kini hanya menjadi 73 ayat; dalam al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an karya Imam Zarkasyi disebutkan bahwa ada dua surah yang tidak dimasukkan dalam mushaf Uthmani, yakni surah al-Khul’ dan al-Hafd.

4. Saya kira sudah saatnya kita kembali lagi kepada karya-karya orientalis tentang sejarah Al Qur'an . Karya-karya itu akan menjadi penuntun yang baik bagi kita untuk mengetahui sejarah Al Qur'an secara lebih komprehensif lagi. Saya berpandangan, manfaat yang diwariskan tradisi keilmiahan orientalisme jauh lebih besar ketimbang mafsadahnya. Edward Said tak pernah memberikan sumbangan apa-apa bagi kajian keislaman. Dia hanya meluapkan kemarahannya kepada apa yang dia sebut sebagai “konspirasi orientalisme” atau “konspirasi Barat.” Tapi, kemarahan dan emosi bukanlah sebuah cara yang baik untuk menilai produk kesarjanaan.

Begitulah cara orientalis memikat hati orang-orang yang bisa bersama dengan mereka. Ini sekaligus menunjukkan bahwa pada saat ini nampaknya pemikiran lebih kuat pengaruhnya dari undang-undang. Kini, para orientalis dan kaki tangan orientalis dikalangan muslim yang terbujuk oleh keilmiahan mereka, misalnya Nashr Abu Zayd masih bebas dan aktif melakukan kajian-kajian Al-Quran-nya, dan bersama Mohammed Arkoun ia menjadi anggota lembaga penasihat proyek serta penyumbang artikel dalam Encyclopaedia of the Quran yang berpusat di Leiden, yang walaupun telah terbit edisi pertamanya tahun 2001, tapi hanya baru sampai entry A-D.
Para intelektual Islam sejati mestilah melipat-gandakan usaha ilmiah mereka untuk berhadapan dengan tantangan baru saat ini. Pertarungan ilmiah mengenai Al-Quran dan tafsirnya belum berakhir. Yang jelas, Mushaf Utsmani saat ini tetap utuh dan tidak goyah, karena ia mempunyai kedudukan yang luhur dan mempunyai para pembelanya di setiap zaman. Pertempuran ilmiah kini lebih kepada pemikiran dan tafsir Al-Quran, walaupun riwayat dan manuskrip pun masih digunakan. Meskipun begitu para ulama lampau kita yang berwibawa tetap mempunyai jurus-jurus yang handal dalam menafsirkan Al-Quran.
Sarjana Muslim mestinya memiliki pendekatan tersendiri terhadap kajian Al Qur'an . Jika kita bersikap kritis maka kita harus terlebih dulu memiliki cara-pandang seorang Muslim, bukan cara pandang yang netral atau cara pandang yang cenderung dipengaruhi orientalis atau Islamolog Barat. Sebab ilmu itu sendiri tidak netral. Selama ini kajian para orientalis lebih bersifat empiris yang positivistik yang diwarnai oleh pandangan hidup Barat sekuler-liberal. Ini me-nunjukkan krisis epistemologis yang serius.

VI. PENUTUP
Bahwa sejarah penulisan Al Qur'an sangatlah transparan, siapapun dapat melakukan studi kritis terhadapnya, seorang orientalis dengan maksud-maksud tertentu dapat juga melakukan study terhadap sejarah Al Qur'an. Intelektual muslim yang memiliki pencerahan Iman dan Takwa akan menjadikan study Al Qur'an sebagai instrument peningkatan keimanan dan ketakwaan mereka kepada Allah. Mereka yakin bahwa Allah menurunkan Al Qur'an dengan benar – mereka yakin bahwa Allah akan menjaga kebenarannya baik kebenaran isi, bacaan dan tulisan Al Qur'an itu sendiri.
Intelektual muslim yang mengkaji Al Qur'an dengan dalih alur dan skema ilmiyah akan menemukan AL Qur'an sebagaimana persepsi kaum orientalis – ia memperlakukan Al Qur'an sebagai obyek Ilmu dan tidak memperlakukan Al Qur'an sebagaimana fungsinya yaitu sebagai pedoman hidup dan petunjuk jalan kehidupan menuju kehidupan yang haq dan lurus. Mereka hanya menjadikan al Qur'an sebagai Rasm (kertas bertuliskan kata-kata Arab).
Berbahagialah orang-orang yang mendapatkan petunjuk dari Allah dengan meletakkan Al Qur'an sebagai sumber kebenaran … Amin.


Oleh :
I H S A N


sumber tulisan : http://akhmadsudrajat.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar